BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Didalam perekonomian suatu negara salah satu
lembaga keuangan yang mempunyai nilai strategis adalah lembaga keuangan bank.
Lembaga tersebut dimaksudkan sebagai perantara antara pihak- pihak yang
mempunyai kelebihan dana dengan pihak-pihak yang kekurangan dana. Lembaga
keuangan bank bergerak dalam kegiatan perkreditan, dan berbagai jasa yang
diberikan bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme
sistem pembayaran bagi semua faktor perekonomian.
Syariah Islam sebagai suatu syariah yang dibawa
oleh rasul terakhir, mempunyai keunikan tersendiri. Syariah ini bukan saja
menyeluruh atau komprehensif tetapi juga universal. Karakter istimewa ini
diperlukan sebab tidak akan ada syariah lain yang datang untuk
menyempurnakannya. Syariah Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik
ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah) dan dapat diterapkan dalam setiap
waktu dan tempat sampai hari akhir nanti.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian syirkah dan dasar hukumnya?
2.
Apa
rukun dan syarat sah syirkah?
3.
Apa
aja macam-macam syirkah?
4.
Apa
syarat khusus dari jenis-jenis syirkah?
5.
Bagaiman
syirkah dalam konteks keuangan syari’ah?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
pengertian syirkah dan dasar hukumnya.
2.
Mengetahui
rukun dan syarat sah syirkah.
3.
Mengetahui
macam-macam syirkah.
4.
Mengetahui
syarat khusus dari jenis-jenis syirkah.
5.
Mengetahui
syirkah dalam konteks keuangan syari’ah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Dan Dasar Hukum
1.
Pengertian
Syirkah menurut
bahasa berarti al-ikhtilath yang artinya campur atau percampuran. Demikian
dinyatakan oleh Taqiyuddin. Maksud percampuran di sini ialah seseorang
mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin
untuk dibedakan. Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih
untuk satu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
(kompetensi, expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan di
tanggung bersama sesuai kesepakatan. Seperti halnya mudharabah, musyarakah
adalah akad kerjasama atau usaha patungan antara dua atau lebih pemilih modal
atau keahlian, untuk melaksanakan suatu jenis usaha yang halal dan produktif.
Bedanya dengan mudharabah adalah dalam hal pembagian untung rugi dan
keterlibatan peserta dalam usaha yang sedang dikerjakan. (Zuhaili, 1989, IV,
hal. 792-793). Menurut istilah, yang dimaksud dengan syirkah, para fuqaha
berbeda pendapat sebagai berikut:
§ Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan syirkah ialah:
عَقْدٌبَيْنَ الْمُتَشَاِر كَيْنِ فِى رَأْسِ الْمَالِ وَالرَّبْحِ
“Akad antara
dua orang berserikat pada pokok harta (modal) dan keuntungan”.[1]
§ Menurut Imam Taqiyuddin Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husaini, yang
dimaksud dengan syirkah ialah:
عِبَارَةٌ عَنْ ثُبُوتِ الْحَقِّ فِى الشَّيئ الْوَاحِدِ لِشَخْصَيْنِ
فَصَاعِدًا عَلَى جِهَةِ الشُيُوْعِ
“Ibarat penetapan suatu hak pada sesuatu yang satu untuk dua orang
atau lebih dengan cara yang telah diketahui”.[2]
§ Idris Ahmad menyebutkan syirkah sama dengan syarikat dagang, yakni
dua orang atau lebih sama-sama berjanji akan bekerja sama dalam dagang, dengan
menyerahkan modal masing-masing, di mana keuntungan dan kerugiannya
diperhitungkan menurut besar kecilnya modal masing-masing.
Setelah
diketahui definisi-definisi syirkah menurut para ulama, kiranya dapat dipahami
bahwa yang dimaksud dengan syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau
lebih dalam berusaha, yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama.
2.
Dasar
Hukum
Syirkah
merupakan akad yang diperbolehkan, hal ini berlandaskan atas dalil-dalil yang
terdapat dalam Al-Quran, hadits ataupun ijma ulama. Diantara dalil (landasan
syariah) yang memperbolehkan praktik akad syirkah adalah sebagai berikut :
a.
Dalam
firman Allah :
tA$s% ôs)s9 y7yJn=sß ÉA#xsÝ¡Î0 y7ÏGyf÷ètR 4n<Î) ¾ÏmÅ_$yèÏR ( ¨bÎ)ur #ZÏVx. z`ÏiB Ïä!$sÜn=èø:$# Éóö6us9 öNåkÝÕ÷èt/ 4n?tã CÙ÷èt/ wÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ×@Î=s%ur $¨B öNèd 3 £`sßur ß¼ãr#y $yJ¯Rr& çm»¨YtGsù txÿøótGó$$sù ¼çm/u §yzur $YèÏ.#u z>$tRr&ur ) ÇËÍÈ
“ Daud berkata:
"Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu
itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya kebanyakan dari
orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada
sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui bahwa
Kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud
dan bertaubat.”
Ayat diatas
merujuk pada dibolehkannya praktik akad musyarakah. Lafadz “al-khulatha” dalam
ayat ini bisa diartikan saling bersekutu / partnership, bersekutu dalam konteks
ini adalah kerjasama dua atau lebih pihak untuk melakukan sebuah usaha
perniagaan. (Zuhaili, 1989, IV, hal. 793). Berdasarkan pemahaman ini, jelas
sekali bahwa pembiayaan musyarakah mendapatkan legalitas dari syariah.
b.
“Allloh swt telah berfirman (dalam hadits
Qudsi-Nya) : “ Aku adalah yang ketiga dari dua orang yang berserikat selama
salah seorang diantaranya tidak berkhianat terhadap temannnya. Apabila salah
seorang diantara keduanya berkhianat, maka Aku akan keluar dari perserikatan
keduanya” (riwayat Abu Dawud dan Hakim dari Abu Hurairoh). Hadits tersebut merupakan dalil lain diperbolehkannya praktik
musyarakah. Hadits ini merupakan hadits qudsi dan kedudukannya shahih menurut
Hakim.
Dalam hadits ini, Allah memberikan pernyataan bahwa Dia akan
bersama dua orang yang bersekutu dalam suatu usaha perniagaan, dalam arti Allah
akan menjaga memberikan pertolongan dan berkah-Nya atas usaha perniagaan yang
dilakukan, usaha yang dijalankan akan semakin berkembang sepanjang tidak ada
pihak yang berkhianat.
Jika terdapat pihak yang berkhianat di antara mereka, maka Allah
akan mengangkat pertolongan dan berkah-Nya atas usaha perniagaan yang di
jalankan (Zuhaili, 2002, hal.100). Hadits ini secara jelas membenarkan praktik
akad musyarokah dan menunjukan urgensi sifat amanah dan tidak membenarkan
adanya khianat dalam kontrak musyarokah yang di jalankan.
c.
Taqrir
Nabi adalah ketetapan Nabi atas sesuatu yang dilakukan oleh orang lain dan merupakan
salah satu metodologi yang bisa digunakan
untuk menetapkan sebuah hukum. Relevan dengan akad musyarakah, setelah
Rosulullah saw diutus menjadi nabi, masyarakat telah mempraktikan kontrak
musyarakah, kemudian Rosulullah menetapkan akad musyarakah sah untuk digunakan
masyarakat, sebagaimana banyak juga hadits Rosulullah yang menjelaskan
keabsahan akad musyarokah (Zuhaili, 1989, IV, hal. 793). Taqrir Nabi ini bisa
digunakan sebagai landasan hukum atas keabsahan penggunaan akad musyarakah.
d.
Kesepakatan
ulama akan dibolehkannya akad musyarokah dikutip dari Dr. Wahab Zuhaili dalam
kitab Al Fikh al Islami wa Adilatuhu. Ulama muslim sepakat akan keabsahan
kontrak musyarokah secara global, walaupun terdapat perbedaan pendapat di
antara mereka atas beberapa jenis musyarokah. Secara eksplisit, ulama telah
sepakat akan praktik kontrak musyarokah, sehingga kontrak ini mendapat
pengakuan dan legalitas syar’i (Zuhaili, 1989, IV, hal.783).
B.
Rukun
Dan Syarat Sah Syirkah
1.
Rukun
Syirkah
Rukun syirkah
diperselisihkan oleh para ulama, menurut ulama Hanafiyah bahwa rukun syirkah
ada dua, yaitu ijab dan kabul sebab ijab kabul (akad) yang menentukan adanya
syirkah. Adapun yang lain seperti dua orang atau pihak yang jual beli. Pembiayaan
musyarokah memiliki beberapa rukun yang telah di gariskan oleh ulama guna
menentukan sahnya akad tersebut, rukun yang dimaksud adalah shigat (ijab dan
qabul), pihak yang bertransaksi, dan objek transaksi (modal dan kerja). Ulama
juga mengajukan beberapa syarat terhadap rukun-rukun yang melekat dalam
pembiayaan musyarokah :
§ Shigat atau ijab dan qabul harus diucapkan oleh kedua pihak atau
lebih untuk menunjukkan kemauan mereka dan terdapat kejelasan tujuan mereka
dalam melakukan suatu kontrak.
§ Syarat bagi mitra yang melakukan kontrak musyarokah adalah harus
kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
§ Modal yang diberikan harus berupa uang tunai atau juga berupa
aset-aset perniagaan seperti barang inventori, properti, perlengkapan dan
lainnya. Madzhab Syafi’i dan Maliki mensyaratkan modal yang disediakan oleh
masing-masing mitra harus dicampur supaya tidak terdapat keistimewaan. Tetepi
madzhab Hanafi tidak mencantumkan syarat
ini jiks modal dalam bentuk uang tunai.
2.
Syarat
Syirkah
Syarat-syarat
yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi menjadi empat bagian
berikut ini.
a.
Sesuatu
yang bertalian dengan semua bentuk syirkah baik dengan harta maupun dengan yang
lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu; a) yang berkenaan dengan
benda yang diakadkan adalah harus dapat diterima sebagai perwakilan, b) yang
berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian keuntungan harus jelas dan dapat
diketahui dua pihak, misalnya setengah,
sepertiga dan yang lainnya.
b.
Sesuatu
yang bertalian dengan syirkah mal (harta), dalam hal ini terdapat dua perkara
yang harus dipenuhi yaitu a) bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah
adalah dari alat pembayaran (nuqud), seperti Junaih, Rial, dan Rupiah, b) yang
dijadikan modal (harta pokok) ada ketika akad syirkah dilakukan, baik jumlahnya
sama maupun berbeda.
c.
Sesuatu
yang berkaitan syarikat mufawadhah, bahwa dalam mufawadhah disyaratkan a) modal
(pokok harta) dalam syirkah mufawadhah harus sama, b) bagi yang bersyirkah ahli
untuk kafalah, c) bagi yang dijadikan objek akad disyaratkan syirkah umum,
yakni pada semua macam jual beli atau perdagangan.
d.
Adapun
yang bertalian dengan syirkah ‘inan sama dengan syarat-syarat syirkah
mufawadhah.
Menurut
Malikiyah syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang melakukan akad ialah
merdeka, baligh, pintar (rusyd).
Syafi’iyah berpendapat bahwa syirkah yang sah hukumnnya hanyalah
syirkah ‘inan, sedangkan syirkah yang lainnya batal.
Dijelaskan pula oleh Abd al-Rahman al-Jaziri bahwa rukun syirkah
adalah dua orang (pihak) yang berserikat, shighat dan objek akad syirkah baik
harta maupun kerja. Syarat-syarat syirkah, dijelaskan oleh Idris Ahmad berikut
ini.
1)
Mengeluarkan
kata-kata yang menunjukkan izin masing-masing anggota serikat kepada pihak yang
akan mengendalikan harta itu.
2)
Anggota
serikat itu saling mempercayai, sebab masing-masing mereka adalah wakil yang
lainnya.
3)
Mencampurkan
harta sehingga tidak dapat dibedakan hak masing-masing, baik berupa mata uang
maupun bentuk yang lainnya.
a.
Syarat
lafaz
Kalimat akad
hendaklah mengandung arti izin buat menjalankan barang perserikatan. Umpamanya
salah seorang diantara keduanya berkata “kita berserikat pada barang ini, dan
saya izinkan engkau menjalankannya dengan jalan jual beli dan lain-lainnya.”
Jawab yang lain, “ saya terima seperti yang engkau katakan itu.”
b.
Syarat
menjadi anggota pengkongsian
1) Berakal
2) Baligh (berumur 15 tahun)
3) Merdeka dan dengan kehendaknya sendiri (tidak dipaksa)
c.
Syarat
modal pengkongsian
1)
Modal
hendaklah berupa uang (emas atau perak) atau barang yang ditimbang atau ditakar,
misalnya beras, gula dan lain-lainnya.
2)
Dua
barang modal itu hendaklah dicampurkan sebelum akad sehingga antara kedua
bagian barang itu tidak dapat dibedakan
lagi.
Modal dan kerja tidak perlu sama. Seseorang boleh memberi modal
Rp.100.000,00, dan yang lainnya Rp. 50.000,00. Begitu juga kerjanya, tidak
berhalangan bila salah seorang bekerja satu hari, sedangkan yang lain setengah hari, asal berdasarkan hasil mufakat
antara keduanya pada waktu akad.
Adapun pendapat
lain mengenai akad syirkah yang dikatakan sah apabila memenuhi beberapa syarat
umum sebagai berikut (Zuhaili,jilid IV, hal 805) :
a.
Akad
syirkah harus bisa menerima wukalah (perwakilan), setiap partner merupakan
wakil dari yang lain , karena masing-masing mendapatkan izin dari pihak lain
untuk menjalankan perannya. Dalam syirkah setiap partner mendapat izin dari
pihak lain untuk menjalankan transaksi bisnis, masing-masing partner merupakan
wakil dari pihak lain . sehingga, akad syirkah harus bisa diwakilkan (pekerjaan
dalam syirkah harus bisa di-speed sehingga masing-masing pihak memilliki
kontribusi. Untuk itu masing-masing partner harus mewakilkan kepada pihak lain
untuk menjalankan bagiannya)
b.
Keuntungan
bisa di kualifikasikan, artinya masing-masoing partner mendapatkan bagian yang
jelas dari hasil keuntungan bisnis, bisa dalam bentuk nisbah atau presentase
misalnya 20% untuk masing-masing partner.
c.
Penentuan
pembagian bagi hasil (keuntungan) tidak bisa disebutkan dalam jumlah nominal
yang pasti (misal, Rp.500.000, untuk masing-masing partner), karena hal ini
bertentangan dengan konsep syirkah untuk berbagi dalam keuntungan dan resiko
atas usaha yang dijalankan.
C.
Macam-Macam
Musyarokah
Secara garis
besar, musyarokah diketegorikan menjadi dua jenis, yakni musyarokah kepemilikan
(syirkah al amlak) dan musyarokah akad (syirkah al‘aqd). Musyarokah kepemilikan
tercipta karena adanya warisan, wasiat atau konidisi lainnya yang mengakibatkan
pemilikan satu aset oleh dua orang atu lebih. Dalam musyarokah ini, kepemilikan
dua orang atau lebih berbagai dalam sebuah aset nyata dan berbagai pula dari
keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.
Musyarokah akad
tercipta dengan cara kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap
orang dari memberikan kontribusi modal musyarokah, mereka pun sepakat berbagai
keuntungan dan kerugian. Musyarokah akad terbagi menjadi : syirkah al’inan, al
mufalwadlah, al a’maal dan syirkah al wujuh (Zuhaili, 1989, IV, hal.796).
a.
Syirkah
al ‘inan
Syirkah al’inan
adalah kontrak antara dua orang atau lebih setiap pihak memberikan suatu porsi
dari keseluruhan modal dan berpartisipasi dalam kerja. Semua pihak berbagai
dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana disepakati diantara mereka, namun
porsi masing-masing pihak (baik dalam kontribusi modal, kerja ataupun bagi
hasil) tidaklah harus sama dan identik, tetapi sesuai kesepakatan mereka
(Zuhaili, jilid IV, hal. 797). Atau bisa diartikan sebagai akad dari dua orang
atau lebih untuk berserikat harta yang ditentukan oleh keduanya dengan maksud
mendapat keuntungan (tambahan) dan keuntungan itu untuk mereka yang berserikat
itu.
Madzhab Hanafi
dan Hambali mengizinkan praktik ini dengan memilih salah satu dari alternatif
berikut ini :
Ø Keuntungan yang didapatkan dibagi sesuai dengan kontribusi modal
yang diberikan oleh masing-masing pihak,
Ø Keuntungan bisa dibagi secara sama, walaupun kontribusi moda
masing-masing mungkin berbeda,
Ø Keuntungan bisa di bagi tidak sama tapi kontribusi dana yang
dibeikan sama. Madzhab Maliki dan Syafi’i menerima jenis akad musyarokah ini
dengan syarat, keuntungan dan kerugian di bagi secara proporsional sesuai
dengan kontribusi dana yang ditanamkan, musyarokah jenis ini yang sering di
aplikasikan dalam perbankan syari’ah.
b.
Syirkah
al Muafadlah
Syirkah al
Muafadlah adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih, setiap pihak
memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja.
Setiap pihak membagi kuntungan dan kerugian secara sama. Dengan demikian,
syarat utama dari jenis musyarokah ini adalah kesamaan dana yang diberikan,
kerja, tanggung jawab dan beban hutang dibagi oleh masing-masing pihak secara
sama. Madzhab Hanafi dan Maliki membolehkan jenis musyarokah ini, tetapi dengan
memberikan banyak batasan terhadapnya (Zuhaili, 1989, IV, hal. 798).
c.
Syirkah
al A’maal
Syirkah al
A’maal adalah kontrak kerja sama antara dua orang seprofesi untuk menerima
pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya,
kerja sama dua orang arsitek untuk menggarap sebuah proyek, atau kerjasama dua
orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam kantor. Madzhab Hanafi,
Hambali dan Maliki setuju dan membolehkan praktik musyarokah ini (Zuhaili,
1989, IV, hal. 803)
d.
Syirkah
al Wujuh
Syirkah al
Wujuh adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih yang memiliki
reputasi prestise yang baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang
secara kredit dari suatu perusahaan tanpa adanya uang cash damm kemudian
menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan dan
kerugian. Jenis musyarokah ini tidak memerlukan modal, karena pembelian barang
dilakukan secara kredit dan berdasarkan jaminan orang yang bersekutu (Zuhaili,
1989, IV, hal 801)
D.
Ciri
Khas Dari Jenis Syirkah
1.
Syarat
Khusus Dalam Syirkah Al Amwal
Pertama,
mayoritas ulama sepakat bahwa ra’sul mal (modal) dalam syirkah harus dihadirkan
ketika melakukan kontrak atau akan menjalankan bisnis. Modal tidak bisa berupa
hutang, karena maksud dari diadakannya syirkah adalah untuk mendapatkan
keuntungan dan hal ini tidak bisa dicapai tanpa dengan melakukan bisnis, bisnis
tidak akan berjalan tanpa adanya modal.
Adapun
pencampuran modal, bukanlah merupakan syarat, karena akad syirkah bisa terjadi
dengan akad bukan dengan harta. Untuk itu tidak dipesyaratkan percampuran harta
sebagaimana dalam mudhorobah. Akad syirkah merupakan kontrak untuk menjalankan
usaha, dan didalamnya mengandung makna wukalah, perwakilan dapat dilakukan atas
dua harta sebelum dilakukan percampuran, begitu juga dengan syirkah (Zuhaili,
1989, IV, hal.806-807).
Kedua, ra’sul
mal (modal) dalam syirkah berupa uang, bukan berupa komoditas yang mungkin akan
berbeda nilainya, ini merupakan kesepakatan ulama empat madzhab. Menurut imam
Malik, ra’sul mal dalam syirkah tidak disyaratkan berupa uang, namun bisa
berupa dinar, dirham atau pun komoditi, baik sesama jenis atau beda jenis, tapi
bisa ditentukan kadarnya dengan alasan, syirkah bisa dilakukan atas modal
dengan kadar yang jelas (Zuhaili, 1989, IV, hal.808).
2.
Syarat
Khusus Dari Syirkah Al Mufawadlah
Madzhab
Hanafiyah memberikan syarat khusus dalam syirkah al mufawadlah sebagai berikut
(Zuhaili, 1989, IV, hal.811) :
a.
Bagi
mitra yang melakukan kontrak musyarokah harus kompeten dalam memberikan atau di
berikan perwakilan (wakalah dan kafalah), karena dalam syirkah al mufawadlah,
tiap mitra memiliki hak dan kewajiban yang sama.
b.
Mitra
memiliki persamaan kontribusi modal dalam syirkah, baik kadar atau nilainya, dari
awal sampai akhir kontrak kerja sama. syirkah al mufawadlah dibangun atas dasar
persamaan.
c.
Ra’sul
mal yang diserahkan masing-masing mitra harus memiliki persamaan, sehingga bisa
dimasukkan dalam akad. Jika modal yang dikontribusikan salah satu mitra tidak
bisa dimasukkan dalam akad karena perbedaan, maka syirkah ini tidak bisa
dinamakan dengan syirkah al mufawadlah. Intinya, ra’sul mal yang
dikontribusikan oleh mitra memiliki persamaan nilai sehingga bisa dimasukkan
secara bersama-sama dalam akad.
d.
Adanya
persamaan dalam pembagian keuntungan untuk masing- masing mitra.
e.
Bisnis
yang dijalankan oleh mitra merupakan hasil kesepakatan bersama, tidak boleh
bisnis itu hanya bisa dilakukan oleh mitra tertentu. Untuk itu, Abu Hanifah dan
Muhammad mensyaratkan agar syirkah ini dilakukan dengan sesama muslim, tidak
bisa dilakukan dengan orang kafir. Karena mungkin orang kafir akan melakukan
bisnis yang tidak bisa dijalankan oleh orang muslim, seperti perdagangan
narkotika atau minuman keras. Berbeda dengan Abu Yusuf, al mufawadlah bisa dijalankan
dengan orang kafir, karena persamaan keduanya yang memiliki ahliyah untuk
menerima wakalah dan atau kafalah.
3.
Syarat
Khusus Dari Syirkah Al A’mal
Jika syirkah al
a’mal dibangun dengan konsep al mufawadlah, maka harus di penuhi syarat-syarat
khusus yang disebutkan dalam syirkah al mufawadlah. Jika syirkah al a’mal
dibangun atas dasar al inan, maka syarat
dalam syirkah al mufawadlah tidak harus di penuhi namun, mitra dalam syirkah
harus orang yang memiliki kompeten dan ahliyah untuk menjalankan wakalah
(Zuhaili, 1989, IV, hal.813).
4.
Syarat
Khusus Dalam Syirkah Al Wujuh
Jika syirkah al
wujuh dilakukan dengan konsep al muwafadlah, maka mitra yang tergabung harus
memiliki kompetensi dan ahliyah untuk menjalankan al kafalah. Keduanya
berkewajiban untuk menanggung separo dari harga objek syirkah, begitu juga
dengan keuntungan yang di dapatkan, harus
dibagi secara sama diantara mitra. Jika syirkah dilakukan dengan dasar
al inan, maka tidak diperlukan syarat-syarat sebagaimana disebutkan. Kadar
kewajiban dan hak berdasarkan kontribusi yang diberikan (Zuhaili, 1989, IV,
hal.814).
Produk
pembiayaan syariah yang didasarkan prinsip bagi hasil adalah:
a. Musyarakah
Bentuk umum dari usaha bagi
hasil adalah musyarakah. Transaksi musyarakah dilandasi adanya keinginan para
pihak yang bekerjasama untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara
bersama-sama. Termasuk dalam golongan musyarakah adalah semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih
dimana mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik
yang berwujud maupun tidak berwujud.
Secara spesifik bentuk
kontribusi dari pihak yang bekerjasama dapat berupa dana, barang perdagangan (trading
asset), kewiraswastaan (entrepreneurship), kepandaian (skill),
kepemilikan (property), peralatan (equipment) , atau intangible asset (seperti hak paten atau goodwill), kepercayaan/reputasi (credit
worthiness) dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang.
Dengan merangkum seluruh kombinasi dari bentuk kontribusi masing-masing pihak
dengan atau tanpa batasan waktu menjadikan produk ini sangat fleksibel.
Ketentuan umum:
Semua modal disatukan untuk
dijadikan modal proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut
serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek.
Pemilik modal dipercaya untuk menjalankan proyek musyarakah tidak boleh
melakukan tindakan seperti:
- Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi.
- Menjalankan proyek musyarakah dengan pihak lain tanpa ijin pemilik modal lainnya.
- Memberi pinjaman kepada pihak lain.
- Setiap pemilik modal dapat mengalihkan penyertaan atau digantikan oleh pihak lain.
- Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerjasama apabila:
1)
Menarik diri dari perserikatan
2)
Meninggal dunia,
3)
Menjadi tidak cakap hukum
- Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus diketahui bersama. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan sedangkan kerugian dibagi sesuai dengan porsi kontribusi modal.
- Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah proyek selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.
b. Mudharabah
Secara spesifik terdapat bentuk musyarakah yang popular dalam produk
perbankan syariah yaitu mudharabah. Mudharabah adalah bentuk kerjasama antara
dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (shahibul maal) mempercayakan
sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian
pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan kontribusi 100%
modal dari shahibul maal dan keahlian dari mudharib.
Transaksi jenis ini tidak
mensyaratkan adanya wakil shahibul maal dalam manajemen proyek. Sebagai
orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggungjawab untuk setiap
kerugian yang terjadi akibat kelalaian. Sedangkan sebagai wakil shahibul maal
dia diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan
laba optimal.
Perbedaan yang esensial dari
musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya kontribusi atas manajemen dan
keuangan atau salah satu diantara itu. Dalam mudharabah modal hanya berasal
dari satu pihak, sedangkan dalam musyarakah modal berasal dari dua pihak atau
lebih. musyarakah dan mudharabah dalam literatur fiqih berbentuk perjanjian
kepercayaan (uqud al amanah) yang menuntut tingkat kejujuran yang tinggi dan
menjunjung keadilan. Karenanya masing-masing pihak harus menjaga kejujuran
untuk kepentingan bersama dan setiap usaha dari masing-masing pihak untuk
melakukan kecurangan dan ketidakadilan pembagian pendapatan betul-betul akan merusak
ajaran Islam.
Ketentuan umum
§ Jumlah
modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal; harus diserahkan
tunai, dapat berupa uang atau barang yang dinyatakan nilainya dalam satuan
uang. Apabila modal diserahkan secara bertahap, harus jelas tahapannya dan
disepakati bersama.
§ Hasil
dan pengelolaan modal pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan dengan dua cara:
§ ¥
(Perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing)
§ ¥
(Perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing)
§ Hasil
usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap bulan atau waktu
yang disepakati. Bank selaku pemilik modal menanggung seluruh kerugian kecuali
akibat kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah, seperti penyeleweng-an,
kecurangan dan penyalahgunaan dana.
§ Bank
berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak berhak mencampuri
urusan pekerjaan/usaha nasabah. Jika nasabah cidera janji dengan sengaja
misalnya tidak mau membayar kewajiban atau menunda pembayaran kewajiban, dapat
dikenakan sanksi administrasi.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Syirkah menurut
bahasa berarti al-ikhtilath yang artinya campur atau percampuran. Demikian
dinyatakan oleh Taqiyuddin. Maksud percampuran di sini ialah seseorang
mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin
untuk dibedakan. Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih
untuk satu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
(kompetensi, expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan di
tanggung bersama sesuai kesepakatan.
Syirkah
merupakan akad yang diperbolehkan, hal ini berlandaskan atas dalil-dalil yang
terdapat dalam Al-Quran, hadits ataupun ijma ulama. Diantara dalil (landasan
syariah) yang memperbolehkan praktik akad syirkah adalah sebagai berikut :
tA$s% ôs)s9 y7yJn=sß ÉA#xsÝ¡Î0 y7ÏGyf÷ètR 4n<Î) ¾ÏmÅ_$yèÏR ( ¨bÎ)ur #ZÏVx. z`ÏiB Ïä!$sÜn=èø:$# Éóö6us9 öNåkÝÕ÷èt/ 4n?tã CÙ÷èt/ wÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ×@Î=s%ur $¨B öNèd 3 £`sßur ß¼ãr#y $yJ¯Rr& çm»¨YtGsù txÿøótGó$$sù ¼çm/u §yzur $YèÏ.#u z>$tRr&ur ) ÇËÍÈ
“ Daud berkata:
"Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu
itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya kebanyakan dari
orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada
sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui bahwa
Kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud
dan bertaubat.”
Ayat diatas
merujuk pada dibolehkannya praktik akad musyarakah. Lafadz “al-khulatha” dalam
ayat ini bisa diartikan saling bersekutu / partnership, bersekutu dalam konteks
ini adalah kerjasama dua atau lebih pihak untuk melakukan sebuah usaha
perniagaan. (Zuhaili, 1989, IV, hal. 793). Berdasarkan pemahaman ini, jelas
sekali bahwa pembiayaan musyarakah mendapatkan legalitas dari syariah.
Rukun syirkah,
yaitu:
1.
Ada
sighatnya (lafaz akad)
2.
Ada
orang yang berserikatnya
3.
Ada
pokok pekerjaannnya
Syarat
menjadi anggota syirkah, yaitu:
1.
Berakal
2.
Balig
3.
Merdeka
dan dengan kehendaknya sendiri (tidak terpaksa)[3]
Secara garis besar, musyarokah diketegorikan menjadi dua jenis,
yakni musyarokah kepemilikan (syirkah al amlak) dan musyarokah akad (syirkah al‘aqd).
Musyarokah akad
terbagi menjadi : syirkah al’inan, al mufalwadlah, al a’maal dan syirkah al
wujuh (Zuhaili, 1989, IV, hal.796).
DAFTAR
PUSTAKA
Djuwani,
Dimyauddin. 2008. Fiqih Muamalah.: Pustaka Pelajar.
Muhammad,
Syaikh al-‘Allamah. 2010. Fiqih Empat Mazhab. Bandung: Hasyimi.
Suhendi, Hendi.
2011. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Syafe’i,
Rahmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.
Rasjid,
Sulaiman. 2009. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.