BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pada
hakikatnya manusia adalah makhluk yang bebas, namun dibalik kebebasannya
tersebut dibatasi oleh kebebasan orang lain. Sehingga manusia pada akhirnya
membuat suatu kelompok, atau koloni yang memunculkan sosok seorang pemimpin
yang hendak bisa mengatur diantara kebebasan manusia yang satu dengan manusia
yang lainnya. Begitu juga dengan dunia Islam, di mana umat muslim diharuskan
berhadapan dengan persoalan-persoalan yang menyangkut dirinya pribadi dengan
masyarakat muslim yang lainnya. Sehingga sosok seorang pemimpin sangat
dibutuhkan kehadirannya di dalam Islam karena dengan adanya seorang pemimpin
yang adil kehidupan umat muslimin akan lebih teratur dan tertib, sehingga
kesejahteraan diantara mereka terjamin. Namun dengan adanya sosok seorang
pemimpin yang adil itu, terkadang ada sebagian orang atau kelompok yang
memiliki tujuan politik merasa dirinya atau kelompoknya terkesampingkan. Pada
akhirnya, orang tersebut beserta kelompoknya mempunyai keinginan hendak meruntuhkan
kepemimpinan atau kepemerintahan yang sedang berdaulat. Sikap orang tersebut
beserta kelompoknya merupakan sebuah tindakan yang tercela, karena tindakan
pemberontakan tersebut dilakukan terhadap seorang pemimpin yang adil. Meskipun
demikian tindakan pemberontak atau disebut ahlul baghyi itu tidak sampai
menjadikan statusnya sebagai seorang yang keluar dari Islam. Namun perbuatan
tersebut haram dilakukan karena akan merusak kesejahteraan umat muslim yang
lainnya.
Kemudian
melihat kenyataan kehidupan umat Islam saat ini, khususnya di Indonesia banyak
orang muslim yang kurang menghayati dan memahami dalam kehidupan beragamanya.
Sehingga tak heran di Indonesia, khususnya bagi orang yang kurang memahami agama dan lemah agamanya rela
menggadaikan keimanannya (agamanya) hanya dengan beberapa kilo gram beras,
beberapa steel pakaian dan jutaan uang rupiah. Sehingga orang tersebut
dikategorikan sebagai orang murtad atau keluar dari Islam. Namun ternyata,
banyak diantara umat Islam yang tidak mengetahui tentang hal-hal yang
menyebabkan seorang muslim menjadi murtad. Persoalan murtad, tidak sesederhana
seperti kasus orang yang menggadaikan agamanya dengan agama lain saja, tetapi
cakupan dari murtad itu lebih luas lagi. Jika kita menelusuri dan menelaah
ajaran-ajaran syariat Islam dengan sungguh-sungguh bahwasanya murtad itu bisa
mencakup dengan murtad keyakinan, murtad ucapan, dan murtad perbuatan.
Akibatnya jika seorang muslim melakukan tindakan murtad baik i’tiqad (keyakinan),
ucapan, maupun perbuatan, maka berarti dia telah keluar dari Islam. Jika ia
menyadari hal tersebut maka hendaklah ia bertaubat dan mengucapkan dua kalimat
syahadat.
Oleh
karenanya penulis memandang penting untuk menulis makalah tentang Ahlul Bahgyi
dan murtad ini supaya menjadi rujukan bagi setiap muslim dalam menyikapi
persoalan yang bersangkutan dengan pemerintahan dan sikap terhadap pemimpin
serta menjadikan umat muslim supaya lebih berhati- hati dengan keyakinannya,
ucapannya, dan perbuatannya agar terhindar dari tindakan yang termasuk
kekufuran atau murtad.
B. Rumusan
Masalah
1) Apa
yang dimaksud dengan Ahlul Baghyi dan Murtad ?
2) Mengapa Ahlul Baghyi dan Murtad dibahas dalam Islam ?
3) Bagai mana realitas ketentuan hukum pada Ahlul Baghyi
dan Murtad ?
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
AHLUL
BAGHYI DAN MURTAD
A.
PENGERTIAN AHLUL BAGHYI DAN MURTAD
1. Pengertian Ahlul Baghyi
عن عرفجة ابن شريح قال:سمعت رسول الله يقول: مَنْ أَتَاكُمْ
وَأَمْرُكُمْ جَـمِيْـعٌ يُرِيدُ أَنْ
يُفَرِّقَ جَـمَاعَتَـكُمْ فَاقْتُلُوْهُ. أخرجه مسلم
a. Terjemah Hadits
Dari ‘Urfajah bin
Syuraih. Ia berkata : Saya dengar Rasulullah saw.Bersabda : “Barang siapa
datang kepada kamu padahal urusan kamu di dalam keadaan persatuan, hendak
memecahkan persatuan kamu, maka bunuhlah dia. (HR. Muslim)
b.
Penjelasan
Hadits
Dalam istilah Islam, orang yang
hendak menghancurkan persatuan di antara umat muslim disebut sebagai ahlul
baghyi atau bughat. Secara bahasa lafadz Bughat mufradnya
ialah Baagin berasal dari kata Baghyu yang berarti dzalim atau
aniaya[1]. Bughat
dalam bahasa Indonesia disebut sebagai pemberontak. Pemberontak dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia berarti melawan atau menentang kekuasaan
(pemerintah dsb):Ranggalawe Memberontak tapi dapat dibinasakan; tidak menurut perintah. Pemberontak pendurhaka;
orang yg melawan atau menentang kekuasaan (pemerintah dsb); bersifat suka melawan. Pemberontakan
perlawanan atau penentangan kpd kekuasaan (perintah dsb). Secara istilah Ahlul Baghyi atau
Bughat ialah kaum muslimin yang tidak taat kepada imam muslimin (khalifah)
karena ada kekeliruan (keraguan) paham.[2]
Dari definisi mengenai ahlul baghyi diatas.
Dengan demikian bisa dipahami, bahwasnnya ahlul baghyi atau bughat adalah
kaum yang memiliki kekuatan dan perlindungan diri yang membangkang terhadap imam
atau pemimpin dengan sebab takwil yang boleh (wajar) seraya bermaksud
mencopotnya atau menyelisinya serta memecah tongkat kesetiaan kepadanya.
Dalam perihal ahlul baghyi
atau bughat ini, ada satu riwayat dari Ummu Salamah, ia berkata : Telah
bersabda Rasulullah saw. : Ammar akan dibunuh oleh golongan yang durhaka. (HR.
Muslim). Setelah wafat khlifah yang ketiga, yaitu ‘Utsman bin ‘Affan Nabi saw. ‘Ali diangkat sebagai khalifah yang
ke empat di Madinah. Di waktu itu Mu’awiyah yang di Syam mengangkat dirinya
sebagai khalifah. Dengan sebab itu jadi peperangan antar golongan ‘Ali dan
golongan Mu’awiyah. Di dalam peperangan itu Amar terbunuh, tetapi Mu’awiyah
berkata : ‘Amar dibunuh oleh orang yang menangkap dan membawanya. Biarpun yang
membunuh Amar itu Mu’awiyah sendiri atau suruhannya, tidak luput bahwa
pembunuhnya itu dari golongan bughat; orang-orang durhaka. Hadits
tersebut merupakan satu daripada mukjizat Nabi saw., dan menunjukan bahwa yang
melawan Khalifah yang shah dan tidak melakukan sesuatu yang menyalahi agama itu, dinamakan bughat.[3]
2.
Pengertian Murtad
حَدَّثَنَاأَبُوالنُّعْمَانِ
مُحَمَّدُ بْنُ
الْفَضْلِ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ
زَيْدٍعَنْ أَيُّوبَ عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ أُتِيَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
بِزَنَادِقَةٍ فَأَحْرَقَهُمْ فَبَلَغَ ذَلِكَ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ لَوْكُنْتُ
أَنَا لَمْ أُحْرِقْهُمْ لِنَهْيِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَا تُعَذِّبُوابِعَذَابِاللَّهِ وَلَقَتَلْتُهُمْ لِقَوْلِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ )رواه البخاري(
a. Terjemah Hadits
Telah menceritakan
kepada kami Abu Nu'man Muhammad bin Fadhl telah menceritakan kepada kami Hammad
bin Zaid dari Ayyub dari Ikrimah mengatakan, beberapa orang Zindiq diringkus
dan dihadapkan kepada Ali radliallahu 'anhu, lalu Ali membakar mereka. Kasus ini
terdengar oleh Ibnu Abbas, sehingga ia berujar; 'Kalau aku, aku tak akan
membakar mereka karena ada larangan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam yang
bersabda: "Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah, " dan aku
tetap akan membunuh mereka sesuai sabda Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam:
"Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah!"
(HR.
Bukhari)
b.
Penjelasan
Hadits
Pada
hadits yang diriwayatkan imam Bukhori di atas, bahwasannya hukuman terhadap
orang yang keluar dari agama Islam dengan kata lain murtad, adalah dengan
membunuhnya. Namun murtad seperti apakah yang dimaksud pada hadits di atas,
karena menurut para ulama cakupan murtad itu luas dimensinya. Bisa mencakup
murtad keyakinan, ucapan, dan perbuatan. Oleh karenanya pengertian tentang
murtad harus benar-benar dipahami secara matang dan mapan. Murtad (riddah) berarti keluar dari jalan
yang pertama kali dilalui. Makna kata ini serupa dengan irtidaad, namun riddah
di sini dikhususkan dalam makna kafir.[4] Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang
disebut dengan murtad ialah tidak setia pada
agamanya; membuang iman. Sedangkan
menurut istilah yang disebut dengan murtad ialah:
اَلرِّدَّةُقَطْعُ
مُكَلَّفٍ اِسْلَامًا بِكُفْرٍعَزْمًا اَوْقَوْلًا اَوْفِعْلًا بِاعْتِقَادٍ
اَوْعِنادٍ اَوْإِسْتِهْزَاءٍ كَنَفِيْ صَانِعٍ وَنَبِيٍّ وَجُحْدِمُجَمَّعٍ
عَلَيْهِ وَسُجُوْدٍ لِمَخْلُوْقٍ
“Putusnya
(keluarnya) seorang Mukallaf terhadap agama Islam dengan sebab kufur, baik hati
(azam), ucapan, maupun perbuatan, dengan bentuk keyakinan, tindakan menentang,
atau memperolok seperti menolak adanya Sang Pencipta, Nabi, menentang apa yang
telah disepakati umat Islam, dan sujud terhadap makhluk.”[5]
Dengan
demikian, maksud riddah di sini adalah keluarnya seorang muslim yang
berakal, dan balig dari agama Islam kepada agama kafir atas keinginannya
sendiri tanpa tekanan dan paksaan dari pihak manapun, terlepas apakah ia
seorang laki-laki atau perempuan. Berdasarkan hal ini, kita dapat menarik
konklusi dasar bahwa seorang anak kecil ataupun orang gila yang keluar dari
agama Islam tidak dianggap (tidak sah) murtad karena mereka berdua bukanlah
mukalaf.
Pada
pembahasan sebelumnya, kita telah mengetahui bahwa jika seorang muslim keluar
dari agamanya, berarti ia telah murtad. Hukum Allah yang berkaitan dengan orang
murtad akan berlaku untuknya. Tetapi, apakah tindakan murtad ini hanya terbatas
bagi para muslimin yang keluar dari Islam atau juga berlaku bagi non muslim
jika mereka keluar dari agama mereka kepada agama kafir lainnya.
Kenyataannya, jika seorang kafir
berpindah ke agama kafir lainnya, ia akan diakui sebagai pemeluk agama yang ia peluk
dan ia tidak akan diberlakukan seperti murtad. Dalam hal ini, ia telah
berpindah dari agama batil menuju agama batil juga. Semua agama kafir adalah
satu kesatuan. Keadaan ini akan berbeda jika ia berpindah agama dari Islam
menuju agama kafir; karena ia telah berpindah dari agama yang lurus menuju
agama batil. Allah swt. Berfirman dalam QS. Ali-Imran ayat 85:
`tBurÆ÷tGö;tƒuŽöxîÄN»n=ó™M}$#$YYƒÏŠ`n=sùŸ@t6ø)ãƒçm÷YÏBuqèdur’ÎûÍotÅzFy$#z`ÏBz`ƒÌÅ¡»y‚ø9$#ÇÑÎÈ
Artinya:
Barangsiapa mencari
agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama
itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.
Dalam
hal ini, Imam Syafi’i memiliki dua pendapat. Pendapatpertama menyatakan
bahwa seseorang tidak akan diterima dan diakui agamanya setelah ia berpindah
agama, kecuali dengan salah satu dari dua pilihan, Islam atau penjatuhan
hukuman eksekusi. Pendapat ini juga sejalan dengan pendapat Ahmad dari salah
satu periwayatan darinya. Pendapatkedua menyatakan bahwa jika seseorang
berpindah dari agama awalnya ke agama lain yang sederajat atau agama lain yang
lebih tinggi dari pada agama awalnya, maka agama yang baru dianutnya itu tadi
diakui. Namun jika ia berpindah kepada agama yang lebih rendah daripada agama
awalnya, maka agama baru yang dianutnya itu tidak diakui.[6]
B. ALASAN AHLUL BAGHYI DAN MURTAD DIBAHAS DALAM ISLAM
1.
Ahlul Baghyi dalam Islam
عَنْ أبي هريرة عَنْ النبي ص.م قال من
خرج عَنْ الطاعة و فارق الجماعة و مات فميتته ميتة جاهلية.أخرجه مسلم
a. Terjemah Hadits
Dari Abi Hurairah, dari Nabi saw. Sabdanya: “Barang siapa
keluar dari ta’at dan berpisah dari jama’ah dan mati, maka bangkainya itu
(adalah) bangkai jahiliyah”. (HR. Muslim)
b.
Penjelasan Hadits
Sebagai muslim yang baik, pasti
akan menghendaki persatuan dan ketaatan terhadap pemimpinnya. Karena tentunya
kaum muslimin ketika mereka hendak membaiat seorang pemimpin, yang menjadi
prioritas dari figur sosok seorang pemimpin tersebut ialah yang bertakwa dan
dinilai mempunyai sifat yang adil. Maka sudah seharusnya seluruh umat muslim
hendak mentaati perintah dan kebijakannya. Kecuali jika pemimpin tersebut
memberikan perintah untuk maksiat dan berbuat durhaka, maka janganlah perkataan
atau perintahnya itu didengar, dan tidaklah ada ketaatan baginya. Orang-orang yang membangkang dari
ketaatan kepada imam itu selain ahlul baghyi bisa juga sebagai quththa ath-thariq atau atau khawarij yaitu yang mengkafirkan (orang
muslim) dengan sebab dosa serta menghalalkan darah dan harta kaum muslimin dan
mereka ini adalah orang-orang fasik yang boleh diperangi secara langsung.
Ketiga macam kelompok ini adalah keluar membangkang terhadap imam, barangsiapa
mati dari golongan mereka itu maka ia mati di atas jalan ahlul jahiliyyah.
Sebagaimana dalam sabda Rasulullah saw di atas tadi.
2.
Murtad dalam Islam
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ :
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : قَالَ اللهُ تَعَالَى :
يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى
مَاكَانَ مِنْكَ وَلاَ أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوْبُكَ
عَنَانَ السَّماَءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ، يَا ابْنَ آدَمَ،
إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطاَياَ ثُمَّ لَقِيْتَنِي لاَ
تُشْرِكْ بِي شَيْئاً لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً.
[رواه الترمذي وقال حديث حسن صحيح ]
a.
Terjemah
Hadits
“Dari Anas
Radhiallahuanhu dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda: Allah Ta’ala berfirman: “Wahai anak Adam, sesungguhnya
Engkau berdoa kepada-Ku dan memohon kepada-Ku, maka akan aku ampuni engkau, Aku
tidak peduli (berapapun banyaknya dan besarnya dosamu). Wahai anak Adam
seandainya dosa-dosamu (sebanyak) awan di langit kemudian engkau minta ampun
kepada-Ku niscaya akan Aku ampuni engkau. Wahai anak Adam sesungguhnya jika
engkau datang kepadaku dengan kesalahan sepenuh bumi kemudian engkau menemuiku
dengan tidak menyekutukan Aku sedikitpun maka akan Aku temui engkau dengan
sepenuh itu pula ampunan “
(Riwayat Turmuzi dan dia berkata : haditsnya hasan shahih).
b.
Penjelasan
Hadits
Pada dasarnya, seorang
muslim tidak dianggap keluar dari Islam,
memepersekutukan Allah dan tidak dihukumi sebagai seorang
murtad kecuali bila hatinya terasa lapang bersama agama kafirnya dan ia telah
benar-benar memeluk agama itu. Rasulullah saw. Bersabda:
اِنَّمَا الْأَعْمَالُ
بِالنِّيَاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِ ئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya
setiap perbuatan itu pasti disertai niat, dan setiap orang akan mendapat pahala
sesuai yang diniatkannya.”
Karena apa yang
ada di hati (niat) itu merupakan sesuatu yang gaib yang tidak dapat diketahui
kecuali oleh Allah swt., berarti harus ada tindakan atau perilaku yang
menjelaskan apa yang terbenam di hati seseorang. Dalam hal ini, tentu bukti
atas kekafirannya harus berupa bukti kuat dan tidak dapat hanya ditakwilkan
karena adanya kemungkinan lain. Hal ini sangat diperhatikan di dalam Islam,
sehingga ada riwayat yang mengatakan bahwa Imam Malik pernah berkata, “Barang
siapa melakukan satu tindakan atau perbuatan yang sangat berkemungkinan kafir
99%, namun masih terbuka 1% kemungkinan ia masih berada di dalam iman, maka
tindakan itu harus dipahami bahwa yang bersangkutan masih berada di dalam
koridor iman. Begitu juga dengan pemaksaan
melafalkan kekafiran tidak mengeluarkan seorang muslim dari agamanya selama
hatinya berkeyakinan teguh akan Islam. Pernah suatu ketika Ammar bin Yasir
diancam dan dipaksa untuk melafalkan kata kafir sehingga pada akhirnya ia
mengucapkannya, kemudian Allah SWT menurunkan Firman-Nya.t
`tBtxÿŸ2«!$$Î/.`ÏBω÷èt/ÿ¾ÏmÏZ»yJƒÎ)žwÎ)ô`tBonÌò2é&¼çmç6ù=s%urBûÈõyJôÜãBÇ`»yJƒM}$$Î/`Å3»s9ur`¨ByyuŽŸ°Ìøÿä3ø9$$Î/#Y‘ô‰|¹óOÎgøŠn=yèsùÒ=ŸÒxîšÆÏiB«!$#óOßgs9urëU#x‹tãÒOŠÏàtãÇÊÉÏÈ
Artinya:
“Barangsiapa
yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah),
kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman
(dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk
kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besa”r.
(QS. An-Nahl : 106)
Ayat
ini menegaskan bahwa barang siapa kafir kepada allah sesudah keimananya secara
potensi karena
telah jelasnya bukti-bukti kebenaran tetapi dia menolaknya akibat keras kepala,
atau sesudah keimanan secara factual, yakni setelsh dia mengucapkan kalimat
syhadat siapa yang demikian itu sikapya dia akan mendapatkan kemurkaan allah,
kecuali yang dipaksa mengucapkan kalimat kufur atau megamalkanya padahal
hatinya tetap tenang dengan keimanan maka dia tidak berdosa akan tetapi orang
yang membuka dan melapangkan dada sehingga hatiya lega dengan kekafiran, yakni
hatinya membenarkan ucapan atau amal kekufuranya itu, maka atas mreka kemurkaan
besar yang turun menimpanya dari allah dan bagi mreka telah disiapkakn, di
akhirat kelak, adzab yang besar. Yang demikian itu, yakni murka dan siksa atau
kemurtadan itu, disebabkan karena mreka sangat mencintai kehidupan di dunia dan
menempatkannya di atas kehidupan akhirat. Itulah yang memalingkan mereka dari iman sehingga merekawajar
mendapat murka dan siksa, dan juga disebabkan teah menjadi ketetapannya bahwa
Allah tidak memberi petunjuk,yakni tidak memberi kemampuan menerima iman dan
mengamalkan petunjuk, bagi kaum yang kafir sesuai dengan keinginan mereka
menolak iman dan tekad mereka menolak petunjuk.[7]
C. REALITAS
KETENTUAN HUKUM AHLUL BAGHYI DAN MURTAD DALAM ISLAM
1.
Realitas
Ketentuan Hukum Ahlul Baghyi dalam Islam
عن ابن عمر قال : قال
رسول الله صلي الله عليه و سلم : من حمل علينا السلاح فليس منا. متفق عليه
a.
Terjemah Hadits
”Dari Ibnu Umar, ia berkata : Telah
bersabda Rasulullah saw : Barang siapa mengangkat senjata terhadap kita, maka
bukanlah ia dari kita”.
(H.R. Muttafaq Alaih)
b.
Penjelasan Hadits
Dalam hadits Ibnu Umar ini, kalimat
bukan dari kita itu bisa diartikan:
1)
Bukan dari mereka yang berbudi pekerti baik terhadap
muslimin lainnya seperti kita.
2)
Bukan dari mereka yang menjalankan Sunnah kita. Bukan dari
mereka yang terikat dalam persatuan golongan muslimin.
3)
Bukan dari mereka yang seagama dengan kita.
Sehingga
Barang siapa memerangi kaum muslimin lantaran benci kepada ke Islamannya,
tentulah kafir hukumnya. Barang siapa memerangi kaum Muslimin lantaran, siasat rebutan
kursi dan sebangsanya, maka siapa yang salah satu itulah yang durhaka, tidak
kafir[8].
Tindakan
memerangi para ahlul baghyi sampai membunuhnya, ialah dilakukan manakala mereka
para ahlul baghyi atau bughat tetap bersihkeras tidak mau kembali pada jama’ah
muslimin dan kembali taat kepada imam yang adil. Tetapi dalam menghadapi bughat ini, ada beberapa
persyaratan yang harus ditempuh sebelum melakukan peperangan dengannya, yaitu dengan syarat-syarat
sebagai berikut:[9]
1)
Ada kekuatan pada mereka, berarti mereka dapat melawan Imam.
2)
Mereka telah keluar dari Imam (tidak mengikuti perintah imam
lagi).
3)
Penyebab mereka keluar dari imam ialah karena ada kekeliruan
atau keraguan paham, dan dengan kekeliruan paham ini mereka berpendapat bahwa
mereka boleh keluar dari perlindungan Imam mereka. Allah swt berfirman:
bÎ)urÈb$tGxÿͬ!$sÛz`ÏBtûüÏZÏB÷sßJø9$#(#qè=tGtGø%$#(#qßsÎ=ô¹r'sù$yJåks]÷t/(.bÎ*sùôMtót/$yJßg1y‰÷nÎ)’n?tã3“t÷zW{$#(#qè=ÏG»s)sùÓÉL©9$#ÓÈöö7s?4Ó®Lymuäþ’Å"s?#’n<Î)ÌøBr&«!$#4bÎ*sùôNuä!$sù(#qßsÎ=ô¹r'sù$yJåks]÷t/ÉAô‰yèø9$$Î/(#þqäÜÅ¡ø%r&ur(¨bÎ)©!$#=Ït䆚úüÏÜÅ¡ø)ßJø9$#ÇÒÈ
Artinya:
“Dan kalau
ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan
antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain,
hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada
perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut
keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang Berlaku adil”.
(QS. Al-Hujurat ayat 9)
Ayat
di atas menggunakan kata ( ) in. Ini untuk menunjukan bahwa pertikaian antara
kelompok orang beriman sebenarnya dieagukan atau jarang terjadi. Bukankah
mereka adalah orang-orang yang memiliki iman yang sama sehingga tujuan mereka
pun seharusnya sama. Kata ( ) iqtalalu terambil dari kata ( ) qatala. Ia dapat berarti
membunuh atau berkelahi atau mengutuk. Karena itu, kata iqtalalu tidak harus
diartikan berperang atau saling membunuh, sebagaimana diterjemahkan oleh
sementara orang. Ia bisa diartikan berkelahi atau bertengkar dan saling memaki.
Dengan demikian, perintah fa qatilu pada ayat di atas tidak tepat bila langsung
diartikan perangilah karena memerangi mereka boleh jadi merupakan tindakan yang
terlalu besar dan jauh. Terjemahan yang lebih netral untuk kata tersebut-
lebih-lebih dalam konteks ayat ini- adalah tindaklah. Di sisi lain, penggunaan
bentuk kata kerja masa lampau di sini tidak juga harus dipahami dalam arti
telah melakukan hal itu, tetapi dalam arti hampir melakukannya. Ini serupa
dengan ucapan pengumandang adzan: “ Qad qamat ash-shalat” yang secara harfiah
berarti “Shalat Telah dilaksanakan”.[10]
Tapi dalam memerangi kaum ahlul baghyi ini juga, mereka yang lari tunggang langang dan terluka tidak boleh dibunuh.
Selain itu, harta benda mereka tetap tidak boleh diambil dan dijadikan rampasan
perang. Para perempuan dan anak kecil mereka tidak boleh ditawan. Pasukan yang
zalim ini juga tidak dikenakan kewajiban menanggung kerugian perang dengan
bentuk jiwa maupun harta. Korban perang dari golongan ini wajib dimandikan,
dikafankan, dan dishalatkan. Sabda Rasulullah saw:
عن ابن عمر قال : قال رسول الله ص.م :
هل تدري يا ابن أم عبد, كيف حكم الله فيمن بغى من هذه الامة ؟ قال : الله و رسوله
أعلم. قال لا يجهز على جريحها, و لا يقتل أسيرها, و لا يطلب هاربها, و لا يقسم
فيءوها. رواه البزار و الحاكم, و صححه فوهم, لأن في إسناده كوثر بن حكيم, وهو
متروك.
Terjemah:
Dari Ibnu
‘Umar. Ia berkata : Telah bersabda Rasulullah saw. : “Tahukah engkau hai anak
Ummi ‘Abd. Bagaimana hukum Allah tentang orang yang bughat dari umat ini ?” Ia
jawab : Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Sabdanya : “Tidak boleh dimatikan yang
luka daripadanya, dan tidak boleh dibagi hartanya yang dirampas.
Diriwayatkan-dia oleh Bazzar dan Hakim dan ia shahkan dia, tetapi ia keliru karena
di isnadnya ada Kautsar bin Hakim, sedang dia itu matruk.
2.
Realitas Ketentuan Hukum
Murtad dalam Islam
عَنِ
ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه
وسلم : لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ : الثَّيِّبُ الزَّانِي،
وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
(رواه البخاري ومسلم)
a. Terjemah
Hadits
Dari
Ibnu Mas’ud radiallahuanhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam
bersabda : Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Ilah
selain Allah dan bahwa saya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) adalah
utusan Allah kecuali dengan tiga sebab : Orang tua yang berzina, membunuh orang
lain (dengan sengaja), dan meninggalkan agamanya berpisah dari jamaahnya.
(Riwayat Bukhori dan Muslim)
b. Penjelasan
Hadits
Kata
laa yahillu yang kemudian disusul dengan istitsna lafadz illa, memberikan pemaham mafhum mukhalafah bahwasannya ada yang dihalalkan darahnya yaitu orang tua
yang berzina, membunuh orang lain (dengan sengaja), dan meninggalkan agamanya
berpisah dari jemaahnya. Berkaitan dengan orang yang murtad ini atau orang yang
meninggalkan agamanya, darahnya menjadi halal dalam artian haq jika dia dibunuh
juga. Konsekuensi dari tindakan
ini, selain itu dapat
menggugurkan semua nilai kebaikan yang pernah dimilikinya sebelum ia murtad.
Tidak hanya sampai di situ, seseorang yang murtad juga berhak mendapatkan azab
yang pedih di akhirat.
Allah
swt berfirman:
y7tRqè=t«ó¡o„Ç`tãÌök¤¶9$#ÏQ#tysø9$#5A$tFÏ%ÏmŠÏù(ö@è%×A$tFÏ%ÏmŠÏù׎Î6x.(<‰|¹ur`tãÈ@‹Î6y™«!$#7øÿà2ur¾ÏmÎ/ωÉfó¡yJø9$#urÏQ#tyÛø9$#ßl#t÷zÎ)ur¾Ï&Î#÷dr&çm÷YÏBçŽt9ø.r&y‰YÏã«!$#4èpuZ÷GÏÿø9$#urçŽt9ò2r&z`ÏBÈ@÷Fs)ø9$#3Ÿwurtbqä9#t“tƒöNä3tRqè=ÏG»s)ãƒ4Ó®LymöNä.r–Šãtƒ`tãöNà6ÏZƒÏŠÈbÎ)(#qãè»sÜtGó™$#4`tBur÷ŠÏ‰s?ötƒöNä3ZÏB`tã¾ÏmÏZƒÏŠôMßJuŠsùuqèdurÖÏù%Ÿ2y7Í´¯»s9'ré'sùôMsÜÎ7ymóOßgè=»yJôãr&’Îû$u‹÷R‘‰9$#ÍotÅzFy$#ur(y7Í´¯»s9'ré&urÜ=»ysô¹r&Í‘$¨Z9$#(öNèd$ygŠÏùšcrà$Î#»yzÇËÊÐÈ
Terjemah:
Mereka bertanya
kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam
bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya
dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. dan berbuat fitnah[135]
lebih besar (dosanya) daripada membunuh. mereka tidak henti-hentinya memerangi
kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran),
seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari
agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia
amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka
kekal di dalamnya.
(Al-Baqarah:217)
[135] Fitnah di sini
berarti penganiayaan dan segala perbuatan yang dimaksudkan untuk menindas Islam
dan muslimin.
Ayat
di atas menjelaskan bahwa seorang muslim mana pun yang keluar dari agama Islam
dan ia tetap berada di dalam kekafiran hingga ia meninggal dunia, maka seluruh
nilai kebaikan yang pernah dimilikinya akan hilang. Ia telah diharamkan dari
buah kebaikannya di kehidupan dunia. Karena itu, ia tidak lagi memiliki hak
seperti yang dimiliki oleh kaum muslimin yang lainnya. Selain itu, ia juga akan
diharamkan dari kenikmatan akhirat yang seharusnya dapat diraih oleh seorang
muslim.Selain itu, Islam juga telah menetapkan hukuman yang dapat dirasakan
segera di dunia bagi mereka selain azab yang dijanjikan bagi mereka di
kehidupan akhirat.
Diriwayatkan
juga dari Jabir r.a. bahwa dikisahkan ada seorang perempuan yang dikenal dengan
Ummu Marwan telah murtad dari agama Islam. Kemudian Nabi saw memerintahkan para
sahabat untuk menawarkan kembali Islam kepadanya, jika ia bertobat, ia akan
kembali menjadi muslim, sedangkan jika ia menolak, ia dapat hukuman dibunuh. Dikisahkan juga bahwa Abu Bakar r.a.
memerangi orang-orang Arab badui yang murtad dari agama Islam hingga mereka
kembali kepada agama Islam. Tidak ada seorang ulama pun yang berbeda pendapat
mengenai hukum murtad ini.
Para
ulama berbeda pendapat pada masalah perempuan yang murtad. Abu Hanifah
berpendapat bahwa jika seorang perempuan keluar dari agama Islam, ia tidak akan
dibunuh, melainkan dipenjara. Perempuan ini akan dikeluarkan dari penjara
setiap hari dan ditawarkan Islam kembali hingga ia kembali memeluk Islam.
Tindakan ini dilakukan terus-menerus hingga ajal menjemputnya. Pengharaman ini
berlandaskan sabda Rasulullah saw yang melarang untuk membunuh para perempuan.
Pendapat
ini bersilangan dengan apa yang diasumsi oleh jumhur fuqaha. Mereka memandang
bahwa hukuman seorang perempuan yang telah murtad seperti hukuman laki-laki
yang murtad, tanpa perbedaan sama sekali. Bagi jumhur, pengaruh dan bahaya dari
perempuan yang murtad tidak berbeda dengan apa yang diakibatkan dari seorang
laki-laki yang murtad. Selain itu pendapat mereka berdasarkan hadits Muadz yang
berderajat hasan menurut pandangan Hafiz bahwa Nabi saw bersabda kepadanya
ketika mengutusnya ke negeri Yaman,
اَيُّمَا
رَجُلٍ ارْتَدَّ عَنِ الْإِسْلَا مِ فَادْ عُهُ فَإِنْ عَا دَ وَ إِلَّا فَاضْرِبْ
عُنُقَهُ وَ اَيُّ مَا امْرَأَةٍ ارْ تَدَّ تْ عَنِ الْاِسْلَامِ فَادْ عُهَا
فَإِنْ عَا دَ تْ وَ إِلَّا فَاضْرِبْ عُنُقَهَا.
Terjemah:
“Jika kamu
mendapatkan laki-laki mana pun yang murtad dari agama Islam, ajaklah ia untuk
kembali memeluk Islam. Jika ia kembali, diamkanlah ia. Namun jika ia menolak,
maka bunuhlah ia. Dan jika kamu mendapatkan peremmpuan manapun yang murtad dari
agama Islam, ajaklah ia untuk kembali memeluk Islam. Jika ia kembali,
diamkanlah. Namun jika ia menolak, bunuhlah ia.”[11]
Diriwayatkan
bahwa Abu Bakar r.a. meminta seorang perempuan untuk bertobat kembali memeluk
Islam. Perempuan itu dikenal sebagai Ummu Qirfah. Ia telah murtad dari agama
Islam namun enggan bertobat, maka Abu Bakar r.a membunuhnya.Hadits yang
melarang membunuh perempuan berlaku pada saat perang karena kelemahan mereka.
Selain itu, para perempuan biasanya tidak ikut berperang. Karena itu, Nabi saw
melarang para sahabat untuk membunuh perempuan. Ketika Nabi saw melihat wanita
terbunuh. Nabi saw berkata, “Sungguh, wanita ini tidak ikut berperang.”Atas
landasan itu, Nabi saw melarang umatnya untuk membunuh wanita.Para perempuan
disamakan dengan laki-laki dalam seluruh penegakan hukum tanpa pengecualian.
Seperti hal nya perempuan juga dijatuhi hukuman ranjam jika berzina setelah
menikah, maka ia juga akan dijatuhi hukuman bunuh jika murtad. Tidak ada
perbedaan dalam keduanya.
Menjadi
hal yang sangat penting juga selain mengetahui konsekuensi dari tindakan murtad
itu sendiri dengan adanya hukuman mati bagi para pelakunya, menjadi suatu yang
harus lebih diperhatikan ialah faktor atau sebab yang menjadikan seorang muslim
terjerembab dalam kemurtadan. Jika mengamati tentang sebab-sebab yang dapat
menjadikan seorang muslim menjadi murtad. Seperti pada salah satu bagian dari
makalah ini yang menjelaskan mengenai faktor-faktor yang menjadikan seorang
muslim menjadi murtad, dapat disimpulkan dan diklasifikasi bahwasannya murtad
itu terbagi menjadi tiga macam yaitu :
1) Murtad
‘Itiqad (Keyakinan), seperti ragu terhadap adanya Allah, ragu terhadap rasul,
ragu terhadap Al-Qur’an, menghalalkan perkara yang telah diharamkan,
mengharamkan perkara yang telah dihalalkan, menolak wajibnya shalat fardlu,
puasa ramadlan, mengazam akan murtad di masa yang akan datang.
2) Murtad
Perbuatan, seperti sujud terhadap berhala, matahari, dan makhluk lain. Kecuali
sujud karena dharurat, seperti terpaksa sujudnya seorang tawanan perang
terhadap berhala ketika berhadapan dengan kafir karena tawanan tersebut takut
kepada si kafir. Persoalan mengenai ruku’ dan sujud, apabila ada seseorang yang
ruku’ terhadap makhluk karena mengagungkan, seperti mengagungkannya dia
terhadap Allah maka hal tersebut merupakan kekufuran (kafir). Tetapi apabila
dia ruku’ bermaksud tidak seperti mengagungkan kepada Allah, atau dia mutlak
melakukan ruku’ saja tanpa ada maksud apa-apa, maka hal tersebut tidak termasuk
kufur, namun perbuatan tersebut haram. Berbeda hal nya dengan sujud, perbuatan
sujud terhadap makhluk dengan motif apapun, sekalipun itu tanpa ada maksud
mengagungkan maka hal tersebut haram dilakukan dan termasuk kedalam kekufuran.[12]
Adapun jika ada suatu tradisi yang berjalan di masyarakat seperti menundukan
kepala, kemudian membungkukan badan, selama itu tidak sampai melebihi dari
paling sedikitnya batasan ruku’ maka hal tersebut tidak termasuk kufur dan
haram tetapi makruh, demikianlah menurut as-Syarqawi dan al-Bujairimi.[13]
3) Murtad
Ucapan, diantara bentuk murtad ucapan ialah:
a) Berkata
terhadap orang Islam dengan memanggilnya, kafir, yahudi, atau orang yang tak
beragama dengan bermaksud bahwa orang yang dipanggilnya itu kafir.
b) Memperolok
asma’ Allah, janji-Nya, dan ancaman-Nya.Seperti ucapan seseorang, “ Jika Allah
memerintahkan sesuatu kepadaku maka aku tidak akan mengerjakannya.”, dan
seperti ucapan. “Seandainya Allah memberikan aku surga, maka aku tidak akan
memasukinya.” Hal itu dia ucapkan semata-mata karena meremehkan.
c) Mencacimaki
Nabi
d) Berkata
terhadap orang muslim, “Aku adalah musuhmu dan musuh Nabimu”
e) Berkata
terhadap Syarif (keturunan Rasulullah), “Aku adalah musuhmu dan musuh kakekmu.”
Dengan bermaksud pada Nabi Muhammad saw.
Kesimpulannya,
bahwasannya setiap ‘Itiqaad, perbuatan, maupun ucapan yang mengandung unsur dan
menunjukan penghinaan dan pelecehan kepada Allah, Rasul-Nya, Malaikat-Nya,
janji-Nya, ancaman-Nya, maka hal tersebut merupakan kekufuran dan kemaksiatan
yang mesti dihidari oleh setiap muslim.
ain
itu, tindakan murtad
Kemudian
melihat realitas bahwa hukuman bagi orang yang murtad ialah dengan membunuhnya.
Namun, meskipun demikian ternyata dibalik
memberikan hukuman dengan eksekusi mati tersebut itu terdapat hikmah
yang bisa diambil oleh setiap muslim jika mereka merenungkannya.Karena Islam
merupakan metode lengkap dan sempurna bagi kehidupan. Islam merupakan agama
sekaligus peraturan negara. Islam merupakan ibadah dan kepemimpinan. Islam juga
mushaf (kitab suci) dan pedang, roh sekaligus materi, panduan dunia sekaligus
akhirat. Islam didasarkan atas akal dan pikiran. Islam berdiri di atas hujah
dan dalil. Tidak anda satupun tuntunan aqidah dan tuntunan hidup Islam yang
bertentangan dengan fitrah manusia atau berdiri sebagai satu dinding pemisah
tanpa mencapai kesempurnaan materi dan maknawi. Barang siapa yang telah
menyelami dan memeluk Islam, maka ia akan mengetahui hakikat Islam serta dapat
merasakan nikmatnya Islam.
Jadi,
jika seseorang keluar dari agama Islam setelah ia memeluk dan mengetahui Islam,
maka ia telah keluar dari jalan yang seharusnya sesuai dengan akal. Ia telah
jauh dari cahaya kebenaran dan dalil yang lurus, menyimpang dari akal yang benar
dan fitrah yang suci. Manusia mana pun, ketika telah mencapai derajat seperti
ini berarti telah murtad dan jatuh ke tingkatan paling rendah seperti ia juga
telah benar-benar jatuh ke arah permukaan. Orang seperti ini tidak lagi perlu
dijaga dan dipelihara kehidupannya. Tidak perlu juga lelah meneruskan penjagaan
hayatnya karena kehidupannya tidak lagi memiliki tujuan yang mulia dan maksud
yang terpuji. Hal ini jika dilihat dari satu sisi.
Adapun
sisi lain, sesungguhnya Islam lebih merupakan suatu metode umum dalam
kehidupan, peraturan yang mencakup segala norma dan akhlak yang baik. Peraturan
dan metode dalam kehidupan ini pasti memerlukan pagar yang dapat terus menjaga,
membutuhkan lapisan baja yang memeliharanya. Tidak ada satu peraturan pun yang
dapat berdiri tanpa pemeliharaan dan penjagaan khusus dari segala sesuatu yang
dapat merobohkan dan mengguncangkan bangunan peraturan itu. Tidak ada satu pun
yang lebih kuat dalam menjaga peraturan serta memeliharanya dari pada
pelarangan untuk keluar dari jalur yang telah ditetapkan (dari metode itu
sendiri).Keluar dari metode dan peraturan yang telah ditegakan Islam berarti
dapat merobohkan eksistensi Islam itu sendiri lalu mengantarkan Islam ke
gerbang kemunduran dan kejatuhan.
Sesungguhnya
keluar dari agama Islam atau murtad merupakan suatu pergolakan. Pelaku
pergolakan itu layak diberi balasan dengan ketetapan hukum yang telah
ditetapkan oleh undang-undang negara dan ketetapan yang disepakati
bersama.Manusia mana pun, di negara mana pun, di negeri komunis atau kapitalis,
jika ada seseorang yang keluar dari undang-undang negara maka ia di sebut
sebagai pengkhianat tidak ada hukuman yang pantas dijatuhkan padanya, kecuali
hukuman bunuh.Jadi peraturan Islam yang menjatuhkan hukum bunuh bagi orang yang
murtad, sesuai dengan jalan pikiran manusia dan ketentuan-ketentuan yang ada.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan.
Pada dasarnya Ahlul Baghyi ialah kaum
muslimin yang membangkang terhadap Imam muslimin (Khalifah) yang
memiliki kekuatan dan mempunyai potensi untuk meruntuhkan kepemerintahan yang
sedang berdaulat. Satus Ahlul Baghyi dengan tindakan pembangkangannya merupakan
sebuah tindakan kefasikan, hanya saja tak menjadikannya menjadi seorang yang
kafir atau keluar dari agama Islam. Namun meskipun demikian, Ahlul Baghyi mesti
diperangi karena dia telah berusaha untuk mencopot kesetiaanya terhadap seorang
Imam, tidak taat kepadanya dan dapat mengganggu stabilitas kepemerintahan.
Padahal ketaatan terhadap seorang pemimpin atau Imam merupakan suatu kewajiban
dalam Islam, selagi perintah dan amanat dari seorang Imam tidak mengarah kepada
kemaksiatan dan perbuatan durhaka.
Selain itu, orang-orang yang membangkang
dari ketaatan kepada imam itu bisa sebagai qutha ath-thariq atau
bughat atau khawarij yaitu yang mengkafirkan (orang muslim) dengan sebab dosa
serta menghalalkan darah dan harta kaum muslimin dan mereka ini adalah
orang-orang fasik yang boleh diperangi secara langsung. Ketiga macam kelompok
ini adalah keluar membangkang terhadap imam, barangsiapa mati dari golongan
mereka itu maka ia mati di atas jalan ahlul jahiliyyah.
Murtad ialah keluarnya seorang mukallaf dari agama Islam
dengan sebab kufuran, baik keyakinan, ucapan, maupun perbuatan.Tindakan murtad
merupakan tindakan kekafiran yang sangat berat (afhasyu Syai’i min anwaa’il
kufri), dan menjadikan status hukum orang yang melakukannya keluar dari
Islam. Sehingga seorang yang murtad darahnya menjadi halal, hak-hak ketika ia
masih menjadi muslim menjadi hilang, seperti hak terhadap warisan, hubungan
suami-istri, dll. Dan apabila meninggal ia tidak boleh disholatkan, dimandikan,
dikafani, serta dikuburkan di pekuburan muslim. Sudah seharusnya semua muslim
bisa menjaga dirinya, anak-istrinya, dan seluruh keluarganya supaya terhindar
dan jauh dari tindakan murtad dan menjaga batasannya, supaya tidak keluar
menerjang faktor-faktor yang mnyebabkannya menjadi murtad. Baik itu murtad
‘itiqad, ucapan, maupun perbuatan. Wal ‘Iyaadzu Billaah....,
B. Saran
Dengan pertolongan Allah,
Alhamdulillah makalah ini dapat diselesaikan. Semoga dengan hadirnya makalah
ini kepada tangan para pembaca, dapat menambah khazanah keilmuannya dan bisa
menambah pemahman dalam beragama. Kritik dan saran senantiasa penulis
nantikan...,
DAFTAR PUSTAKA
·
Abdullah bin Husein Ba ‘Alawy. Sulam at-Taufiq.Semarang:
Maktabah Karya Toha Putra.
·
Aby Syuja’, Ahmad bin Husein. At-Taqrib. Jeddah:
Maktabah Haramain.
·
A.Hassan. Tarjamah Bulughul Maram. Bangil: Cv.
Pustaka Tamam. 1991
·
Ahmad Sunarto. Tarjamah Shahih Bukhari Jilid IX.
Semarang: Cv. Asy Syifa.1993
·
H. Sualiman Rasjid. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru
Algesindo.2011
·
Muhammad An-Nawawi. Mirqaatus Shu’uud at-Tashdiiq.
Semarang: Maktabah Karya Toha Putra.
·
Muhammad bin Qasim
Al-Ghazi.Fathul Qarib. Jeddah:Maktabah al-Haramain
·
M.Quraish
Shihab. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta:
Lentera Hati.2009
·
Muhammad Syamsil Haqqil
Adzim. Aunul Ma’bud Fii Syarhi Sunan Abi
Dawud. Beirut-Lebanon: Darul Fikr.2003
·
Sayid Muhammad Sabiq. Fiqih
Sunnah, Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi. 2008
·
W.J.S. Poerwadarmita. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka: 2006
·
Zainuddin bin ‘Abdul ‘Aziiz Al-Malibary. Fathul Mu’in.
Semarang: Maktabah ‘Alawiyah.
[1] Muhammad bin
Qasim Al-Ghazi.Fathul Qarib. Maktabah al-Haramain.hal.58
[4]Sayid Muhammad
Sabiq. Fiqih Sunnah, Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi. 2008 hal. 211
[5]Zainuddi
al-Malibary. Fathul Mu’in,
Semarang: Maktabah ‘Alawiyah. hal.127
[6]Sayid Muhammad
Sabiq. Fiqih Sunnah, Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi. 2008 hal. 212
[8]A.Hassan.
Tarjamah Bulughul Maram. Bangil: Cv. Pustaka Tamam.1991.hal.635
[9]Abu Syuja’,
Ahmad bin Husein. At-Taqrib. Sanaqafurah-jeddah. Indonesia: Maktabah
al-Haramain.hal.58
[11] Muhammad Syamsil Haqqil
Adzim. Aunul Ma’bud. Beirut-Lebanon:
Darul Fikr.2003.hal.4
[12] Muhammad
Nawawi. Mirqaat Ash-Shu’ud At-Tashdiq. Semarang: Karya Toha Putra.
hal.11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar