Selasa, 04 Maret 2014

AHLUL BAGHYI DAN MURTAD



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang bebas, namun dibalik kebebasannya tersebut dibatasi oleh kebebasan orang lain. Sehingga manusia pada akhirnya membuat suatu kelompok, atau koloni yang memunculkan sosok seorang pemimpin yang hendak bisa mengatur diantara kebebasan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Begitu juga dengan dunia Islam, di mana umat muslim diharuskan berhadapan dengan persoalan-persoalan yang menyangkut dirinya pribadi dengan masyarakat muslim yang lainnya. Sehingga sosok seorang pemimpin sangat dibutuhkan kehadirannya di dalam Islam karena dengan adanya seorang pemimpin yang adil kehidupan umat muslimin akan lebih teratur dan tertib, sehingga kesejahteraan diantara mereka terjamin. Namun dengan adanya sosok seorang pemimpin yang adil itu, terkadang ada sebagian orang atau kelompok yang memiliki tujuan politik merasa dirinya atau kelompoknya terkesampingkan. Pada akhirnya, orang tersebut beserta kelompoknya mempunyai keinginan hendak meruntuhkan kepemimpinan atau kepemerintahan yang sedang berdaulat. Sikap orang tersebut beserta kelompoknya merupakan sebuah tindakan yang tercela, karena tindakan pemberontakan tersebut dilakukan terhadap seorang pemimpin yang adil. Meskipun demikian tindakan pemberontak atau disebut ahlul baghyi itu tidak sampai menjadikan statusnya sebagai seorang yang keluar dari Islam. Namun perbuatan tersebut haram dilakukan karena akan merusak kesejahteraan umat muslim yang lainnya.
Kemudian melihat kenyataan kehidupan umat Islam saat ini, khususnya di Indonesia banyak orang muslim yang kurang menghayati dan memahami dalam kehidupan beragamanya. Sehingga tak heran di Indonesia, khususnya bagi orang yang  kurang memahami agama dan lemah agamanya rela menggadaikan keimanannya (agamanya) hanya dengan beberapa kilo gram beras, beberapa steel pakaian dan jutaan uang rupiah. Sehingga orang tersebut dikategorikan sebagai orang murtad atau keluar dari Islam. Namun ternyata, banyak diantara umat Islam yang tidak mengetahui tentang hal-hal yang menyebabkan seorang muslim menjadi murtad. Persoalan murtad, tidak sesederhana seperti kasus orang yang menggadaikan agamanya dengan agama lain saja, tetapi cakupan dari murtad itu lebih luas lagi. Jika kita menelusuri dan menelaah ajaran-ajaran syariat Islam dengan sungguh-sungguh bahwasanya murtad itu bisa mencakup dengan murtad keyakinan, murtad ucapan, dan murtad perbuatan. Akibatnya jika seorang muslim melakukan tindakan murtad baik i’tiqad (keyakinan), ucapan, maupun perbuatan, maka berarti dia telah keluar dari Islam. Jika ia menyadari hal tersebut maka hendaklah ia bertaubat dan mengucapkan dua kalimat syahadat.
Oleh karenanya penulis memandang penting untuk menulis makalah tentang Ahlul Bahgyi dan murtad ini supaya menjadi rujukan bagi setiap muslim dalam menyikapi persoalan yang bersangkutan dengan pemerintahan dan sikap terhadap pemimpin serta menjadikan umat muslim supaya lebih berhati- hati dengan keyakinannya, ucapannya, dan perbuatannya agar terhindar dari tindakan yang termasuk kekufuran atau murtad.

B.     Rumusan Masalah
1)      Apa yang dimaksud dengan Ahlul Baghyi dan Murtad ?
2)      Mengapa Ahlul Baghyi dan Murtad dibahas dalam Islam ?
3)      Bagai mana realitas ketentuan hukum pada Ahlul Baghyi dan Murtad ?








BAB II
PEMBAHASAN
AHLUL BAGHYI DAN MURTAD

A.    PENGERTIAN AHLUL BAGHYI DAN MURTAD

1.      Pengertian Ahlul Baghyi
عن عرفجة ابن شريح قال:سمعت رسول الله يقول: مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَـمِيْـعٌ يُرِيدُ أَنْ  يُفَرِّقَ جَـمَاعَتَـكُمْ فَاقْتُلُوْهُ. أخرجه مسلم

a.       Terjemah Hadits
Dari ‘Urfajah bin Syuraih. Ia berkata : Saya dengar Rasulullah saw.Bersabda : “Barang siapa datang kepada kamu padahal urusan kamu di dalam keadaan persatuan, hendak memecahkan persatuan kamu, maka bunuhlah dia. (HR. Muslim)

b.      Penjelasan Hadits
            Dalam istilah Islam, orang yang hendak menghancurkan persatuan di antara umat muslim disebut sebagai ahlul baghyi atau bughat. Secara bahasa lafadz Bughat mufradnya ialah Baagin berasal dari kata Baghyu yang berarti dzalim atau aniaya[1]. Bughat dalam bahasa Indonesia disebut sebagai pemberontak. Pemberontak dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti melawan atau menentang kekuasaan (pemerintah dsb):Ranggalawe Memberontak tapi dapat dibinasakan; tidak menurut perintah. Pemberontak pendurhaka; orang yg melawan atau menentang kekuasaan (pemerintah dsb); bersifat suka melawan. Pemberontakan perlawanan atau penentangan kpd kekuasaan (perintah dsb). Secara istilah Ahlul Baghyi atau Bughat ialah kaum muslimin yang tidak taat kepada imam muslimin (khalifah) karena ada kekeliruan (keraguan) paham.[2]
Dari definisi mengenai ahlul baghyi diatas. Dengan demikian bisa dipahami, bahwasnnya ahlul baghyi atau bughat adalah kaum yang memiliki kekuatan dan perlindungan diri yang membangkang terhadap imam atau pemimpin dengan sebab takwil yang boleh (wajar) seraya bermaksud mencopotnya atau menyelisinya serta memecah tongkat kesetiaan kepadanya.
Dalam perihal ahlul baghyi atau bughat ini, ada satu riwayat dari Ummu Salamah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah saw. : Ammar akan dibunuh oleh golongan yang durhaka. (HR. Muslim). Setelah wafat khlifah yang ketiga, yaitu ‘Utsman bin ‘Affan  Nabi saw. ‘Ali diangkat sebagai khalifah yang ke empat di Madinah. Di waktu itu Mu’awiyah yang di Syam mengangkat dirinya sebagai khalifah. Dengan sebab itu jadi peperangan antar golongan ‘Ali dan golongan Mu’awiyah. Di dalam peperangan itu Amar terbunuh, tetapi Mu’awiyah berkata : ‘Amar dibunuh oleh orang yang menangkap dan membawanya. Biarpun yang membunuh Amar itu Mu’awiyah sendiri atau suruhannya, tidak luput bahwa pembunuhnya itu dari golongan bughat; orang-orang durhaka. Hadits tersebut merupakan satu daripada mukjizat Nabi saw., dan menunjukan bahwa yang melawan Khalifah yang shah dan tidak melakukan sesuatu yang  menyalahi agama itu, dinamakan bughat.[3]

2.      Pengertian Murtad

حَدَّثَنَاأَبُوالنُّعْمَانِ مُحَمَّدُ بْنُ الْفَضْلِ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍعَنْ أَيُّوبَ عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ أُتِيَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِزَنَادِقَةٍ فَأَحْرَقَهُمْ فَبَلَغَ ذَلِكَ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ لَوْكُنْتُ أَنَا لَمْ أُحْرِقْهُمْ لِنَهْيِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُعَذِّبُوابِعَذَابِاللَّهِ وَلَقَتَلْتُهُمْ لِقَوْلِ رَسُولِ  اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ )رواه البخاري(

a.       Terjemah Hadits
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'man Muhammad bin Fadhl telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Ikrimah mengatakan, beberapa orang Zindiq diringkus dan dihadapkan kepada Ali radliallahu 'anhu, lalu Ali membakar mereka. Kasus ini terdengar oleh Ibnu Abbas, sehingga ia berujar; 'Kalau aku, aku tak akan membakar mereka karena ada larangan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam yang bersabda: "Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah, " dan aku tetap akan membunuh mereka sesuai sabda Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam: "Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah!"                                                                                                                                   (HR. Bukhari)

b.      Penjelasan Hadits
Pada hadits yang diriwayatkan imam Bukhori di atas, bahwasannya hukuman terhadap orang yang keluar dari agama Islam dengan kata lain murtad, adalah dengan membunuhnya. Namun murtad seperti apakah yang dimaksud pada hadits di atas, karena menurut para ulama cakupan murtad itu luas dimensinya. Bisa mencakup murtad keyakinan, ucapan, dan perbuatan. Oleh karenanya pengertian tentang murtad harus benar-benar dipahami secara matang dan mapan. Murtad  (riddah) berarti keluar dari jalan yang pertama kali dilalui. Makna kata ini serupa dengan irtidaad, namun riddah di sini dikhususkan dalam makna kafir.[4] Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disebut dengan murtad ialah tidak setia pada agamanya; membuang iman. Sedangkan menurut istilah yang disebut dengan murtad ialah:
اَلرِّدَّةُقَطْعُ مُكَلَّفٍ اِسْلَامًا بِكُفْرٍعَزْمًا اَوْقَوْلًا اَوْفِعْلًا بِاعْتِقَادٍ اَوْعِنادٍ اَوْإِسْتِهْزَاءٍ كَنَفِيْ صَانِعٍ وَنَبِيٍّ وَجُحْدِمُجَمَّعٍ عَلَيْهِ وَسُجُوْدٍ لِمَخْلُوْقٍ
“Putusnya (keluarnya) seorang Mukallaf terhadap agama Islam dengan sebab kufur, baik hati (azam), ucapan, maupun perbuatan, dengan bentuk keyakinan, tindakan menentang, atau memperolok seperti menolak adanya Sang Pencipta, Nabi, menentang apa yang telah disepakati umat Islam, dan sujud terhadap makhluk.”[5]
            Dengan demikian, maksud riddah di sini adalah keluarnya seorang muslim yang berakal, dan balig dari agama Islam kepada agama kafir atas keinginannya sendiri tanpa tekanan dan paksaan dari pihak manapun, terlepas apakah ia seorang laki-laki atau perempuan. Berdasarkan hal ini, kita dapat menarik konklusi dasar bahwa seorang anak kecil ataupun orang gila yang keluar dari agama Islam tidak dianggap (tidak sah) murtad karena mereka berdua bukanlah mukalaf.
            Pada pembahasan sebelumnya, kita telah mengetahui bahwa jika seorang muslim keluar dari agamanya, berarti ia telah murtad. Hukum Allah yang berkaitan dengan orang murtad akan berlaku untuknya. Tetapi, apakah tindakan murtad ini hanya terbatas bagi para muslimin yang keluar dari Islam atau juga berlaku bagi non muslim jika mereka keluar dari agama mereka kepada agama kafir lainnya.
              Kenyataannya, jika seorang kafir berpindah ke agama kafir lainnya, ia akan diakui sebagai pemeluk agama yang ia peluk dan ia tidak akan diberlakukan seperti murtad. Dalam hal ini, ia telah berpindah dari agama batil menuju agama batil juga. Semua agama kafir adalah satu kesatuan. Keadaan ini akan berbeda jika ia berpindah agama dari Islam menuju agama kafir; karena ia telah berpindah dari agama yang lurus menuju agama batil. Allah swt. Berfirman dalam QS. Ali-Imran ayat 85:
`tBurÆ÷tGö;tƒuŽöxîÄN»n=óM}$#$YYƒÏŠ`n=sùŸ@t6ø)ãƒçm÷YÏBuqèdurÎûÍotÅzFy$#z`ÏBz`ƒÌÅ¡»yø9$#ÇÑÎÈ
Artinya:
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.
              Dalam hal ini, Imam Syafi’i memiliki dua pendapat. Pendapatpertama menyatakan bahwa seseorang tidak akan diterima dan diakui agamanya setelah ia berpindah agama, kecuali dengan salah satu dari dua pilihan, Islam atau penjatuhan hukuman eksekusi. Pendapat ini juga sejalan dengan pendapat Ahmad dari salah satu periwayatan darinya. Pendapatkedua menyatakan bahwa jika seseorang berpindah dari agama awalnya ke agama lain yang sederajat atau agama lain yang lebih tinggi dari pada agama awalnya, maka agama yang baru dianutnya itu tadi diakui. Namun jika ia berpindah kepada agama yang lebih rendah daripada agama awalnya, maka agama baru yang dianutnya itu tidak diakui.[6]

B.     ALASAN AHLUL BAGHYI DAN MURTAD DIBAHAS DALAM ISLAM
1.      Ahlul Baghyi dalam Islam

عَنْ أبي هريرة عَنْ النبي ص.م قال من خرج عَنْ الطاعة و فارق الجماعة و مات فميتته ميتة جاهلية.أخرجه مسلم
a.       Terjemah Hadits   
Dari Abi Hurairah, dari Nabi saw. Sabdanya: “Barang siapa keluar dari ta’at dan berpisah dari jama’ah dan mati, maka bangkainya itu (adalah) bangkai jahiliyah”. (HR. Muslim)

b.      Penjelasan Hadits
                Sebagai muslim yang baik, pasti akan menghendaki persatuan dan ketaatan terhadap pemimpinnya. Karena tentunya kaum muslimin ketika mereka hendak membaiat seorang pemimpin, yang menjadi prioritas dari figur sosok seorang pemimpin tersebut ialah yang bertakwa dan dinilai mempunyai sifat yang adil. Maka sudah seharusnya seluruh umat muslim hendak mentaati perintah dan kebijakannya. Kecuali jika pemimpin tersebut memberikan perintah untuk maksiat dan berbuat durhaka, maka janganlah perkataan atau perintahnya itu didengar, dan tidaklah ada ketaatan baginya. Orang-orang yang membangkang dari ketaatan kepada imam itu selain ahlul baghyi  bisa juga sebagai quththa ath-thariq atau  atau khawarij yaitu yang mengkafirkan (orang muslim) dengan sebab dosa serta menghalalkan darah dan harta kaum muslimin dan mereka ini adalah orang-orang fasik yang boleh diperangi secara langsung. Ketiga macam kelompok ini adalah keluar membangkang terhadap imam, barangsiapa mati dari golongan mereka itu maka ia mati di atas jalan ahlul jahiliyyah. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah saw di atas tadi.

2.      Murtad dalam Islam
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : قَالَ اللهُ تَعَالَى : يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَاكَانَ مِنْكَ وَلاَ أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوْبُكَ عَنَانَ السَّماَءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ، يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطاَياَ ثُمَّ لَقِيْتَنِي لاَ تُشْرِكْ بِي شَيْئاً لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً.
[رواه الترمذي وقال حديث حسن صحيح ]                          
a.       Terjemah Hadits
Dari Anas Radhiallahuanhu dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: Allah Ta’ala berfirman: “Wahai anak Adam, sesungguhnya Engkau berdoa kepada-Ku dan memohon kepada-Ku, maka akan aku ampuni engkau, Aku tidak peduli (berapapun banyaknya dan besarnya dosamu). Wahai anak Adam seandainya dosa-dosamu (sebanyak) awan di langit kemudian engkau minta ampun kepada-Ku niscaya akan Aku ampuni engkau. Wahai anak Adam sesungguhnya jika engkau datang kepadaku dengan kesalahan sepenuh bumi kemudian engkau menemuiku dengan tidak menyekutukan Aku sedikitpun maka akan Aku temui engkau dengan sepenuh itu pula ampunan “
(Riwayat Turmuzi dan dia berkata : haditsnya hasan shahih).
b.      Penjelasan Hadits
      Pada dasarnya, seorang muslim tidak dianggap keluar dari Islam, memepersekutukan Allah dan tidak dihukumi sebagai seorang murtad kecuali bila hatinya terasa lapang bersama agama kafirnya dan ia telah benar-benar memeluk agama itu. Rasulullah saw. Bersabda:
اِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِ ئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya setiap perbuatan itu pasti disertai niat, dan setiap orang akan mendapat pahala sesuai yang diniatkannya.”
       Karena apa yang ada di hati (niat) itu merupakan sesuatu yang gaib yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah swt., berarti harus ada tindakan atau perilaku yang menjelaskan apa yang terbenam di hati seseorang. Dalam hal ini, tentu bukti atas kekafirannya harus berupa bukti kuat dan tidak dapat hanya ditakwilkan karena adanya kemungkinan lain. Hal ini sangat diperhatikan di dalam Islam, sehingga ada riwayat yang mengatakan bahwa Imam Malik pernah berkata, “Barang siapa melakukan satu tindakan atau perbuatan yang sangat berkemungkinan kafir 99%, namun masih terbuka 1% kemungkinan ia masih berada di dalam iman, maka tindakan itu harus dipahami bahwa yang bersangkutan masih berada di dalam koridor iman. Begitu juga dengan pemaksaan melafalkan kekafiran tidak mengeluarkan seorang muslim dari agamanya selama hatinya berkeyakinan teguh akan Islam. Pernah suatu ketika Ammar bin Yasir diancam dan dipaksa untuk melafalkan kata kafir sehingga pada akhirnya ia mengucapkannya, kemudian Allah SWT menurunkan Firman-Nya.t
`tBtxÿŸ2«!$$Î/.`ÏBÏ÷èt/ÿ¾ÏmÏZ»yJƒÎ)žwÎ)ô`tBon̍ò2é&¼çmç6ù=s%urBûÈõyJôÜãBÇ`»yJƒM}$$Î/`Å3»s9ur`¨ByyuŽŸ°Ìøÿä3ø9$$Î/#Yô|¹óOÎgøŠn=yèsùÒ=ŸÒxîšÆÏiB«!$#óOßgs9urëU#xtãÒOŠÏàtãÇÊÉÏÈ
Artinya:
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besa”r. (QS. An-Nahl : 106)
       Ayat ini menegaskan bahwa barang siapa kafir kepada allah sesudah keimananya secara potensi karena telah jelasnya bukti-bukti kebenaran tetapi dia menolaknya akibat keras kepala, atau sesudah keimanan secara factual, yakni setelsh dia mengucapkan kalimat syhadat siapa yang demikian itu sikapya dia akan mendapatkan kemurkaan allah, kecuali yang dipaksa mengucapkan kalimat kufur atau megamalkanya padahal hatinya tetap tenang dengan keimanan maka dia tidak berdosa akan tetapi orang yang membuka dan melapangkan dada sehingga hatiya lega dengan kekafiran, yakni hatinya membenarkan ucapan atau amal kekufuranya itu, maka atas mreka kemurkaan besar yang turun menimpanya dari allah dan bagi mreka telah disiapkakn, di akhirat kelak, adzab yang besar. Yang demikian itu, yakni murka dan siksa atau kemurtadan itu, disebabkan karena mreka sangat mencintai kehidupan di dunia dan menempatkannya di atas kehidupan akhirat. Itulah yang memalingkan  mereka dari iman sehingga merekawajar mendapat murka dan siksa, dan juga disebabkan teah menjadi ketetapannya bahwa Allah tidak memberi petunjuk,yakni tidak memberi kemampuan menerima iman dan mengamalkan petunjuk, bagi kaum yang kafir sesuai dengan keinginan mereka menolak iman dan tekad mereka menolak petunjuk.[7]

C.    REALITAS KETENTUAN HUKUM AHLUL BAGHYI DAN MURTAD DALAM ISLAM
1.   Realitas Ketentuan Hukum Ahlul Baghyi dalam Islam
عن ابن  عمر قال : قال رسول الله صلي الله عليه و سلم : من حمل علينا السلاح فليس منا. متفق عليه
a.       Terjemah Hadits
Dari Ibnu Umar, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah saw : Barang siapa mengangkat senjata terhadap kita, maka bukanlah ia dari kita”.
(H.R. Muttafaq Alaih)


b.      Penjelasan Hadits
Dalam hadits Ibnu Umar ini, kalimat bukan dari kita itu bisa diartikan:
1)      Bukan dari mereka yang berbudi pekerti baik terhadap muslimin lainnya seperti kita.
2)      Bukan dari mereka yang menjalankan Sunnah kita. Bukan dari mereka yang terikat dalam persatuan golongan muslimin.
3)      Bukan dari mereka yang seagama dengan kita.
Sehingga Barang siapa memerangi kaum muslimin lantaran benci kepada ke Islamannya, tentulah kafir hukumnya. Barang siapa memerangi kaum Muslimin lantaran, siasat rebutan kursi dan sebangsanya, maka siapa yang salah satu itulah yang durhaka, tidak kafir[8].
Tindakan memerangi para ahlul baghyi sampai membunuhnya, ialah dilakukan manakala mereka para ahlul baghyi atau bughat tetap bersihkeras tidak mau kembali pada jama’ah muslimin dan kembali taat kepada imam yang adil. Tetapi dalam menghadapi bughat ini, ada beberapa persyaratan yang harus ditempuh sebelum melakukan peperangan dengannya, yaitu dengan syarat-syarat sebagai berikut:[9]
1)      Ada kekuatan pada mereka, berarti mereka dapat melawan Imam.
2)      Mereka telah keluar dari Imam (tidak mengikuti perintah imam lagi).
3)      Penyebab mereka keluar dari imam ialah karena ada kekeliruan atau keraguan paham, dan dengan kekeliruan paham ini mereka berpendapat bahwa mereka boleh keluar dari perlindungan Imam mereka. Allah swt berfirman:        
bÎ)urÈb$tGxÿͬ!$sÛz`ÏBtûüÏZÏB÷sßJø9$#(#qè=tGtGø%$#(#qßsÎ=ô¹r'sù$yJåks]÷t/(.bÎ*sùôMtót/$yJßg1y÷nÎ)n?tã3t÷zW{$#(#qè=ÏG»s)sùÓÉL©9$#ÓÈöö7s?4Ó®LymuäþÅ"s?#n<Î)̍øBr&«!$#4bÎ*sùôNuä!$sù(#qßsÎ=ô¹r'sù$yJåks]÷t/ÉAôyèø9$$Î/(#þqäÜÅ¡ø%r&ur(¨bÎ)©!$#=ÏtäšúüÏÜÅ¡ø)ßJø9$#ÇÒÈ
            Artinya:

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil”.
(QS. Al-Hujurat ayat 9)
            Ayat di atas menggunakan kata ( ) in. Ini untuk menunjukan bahwa pertikaian antara kelompok orang beriman sebenarnya dieagukan atau jarang terjadi. Bukankah mereka adalah orang-orang yang memiliki iman yang sama sehingga tujuan mereka pun seharusnya sama. Kata ( ) iqtalalu terambil dari kata ( ) qatala. Ia dapat berarti membunuh atau berkelahi atau mengutuk. Karena itu, kata iqtalalu tidak harus diartikan berperang atau saling membunuh, sebagaimana diterjemahkan oleh sementara orang. Ia bisa diartikan berkelahi atau bertengkar dan saling memaki. Dengan demikian, perintah fa qatilu pada ayat di atas tidak tepat bila langsung diartikan perangilah karena memerangi mereka boleh jadi merupakan tindakan yang terlalu besar dan jauh. Terjemahan yang lebih netral untuk kata tersebut- lebih-lebih dalam konteks ayat ini- adalah tindaklah. Di sisi lain, penggunaan bentuk kata kerja masa lampau di sini tidak juga harus dipahami dalam arti telah melakukan hal itu, tetapi dalam arti hampir melakukannya. Ini serupa dengan ucapan pengumandang adzan: “ Qad qamat ash-shalat” yang secara harfiah berarti “Shalat Telah dilaksanakan”.[10]

 Tapi dalam memerangi kaum ahlul baghyi ini juga, mereka yang lari tunggang langang dan terluka tidak boleh dibunuh. Selain itu, harta benda mereka tetap tidak boleh diambil dan dijadikan rampasan perang. Para perempuan dan anak kecil mereka tidak boleh ditawan. Pasukan yang zalim ini juga tidak dikenakan kewajiban menanggung kerugian perang dengan bentuk jiwa maupun harta. Korban perang dari golongan ini wajib dimandikan, dikafankan, dan dishalatkan. Sabda Rasulullah saw:
عن ابن عمر قال : قال رسول الله ص.م : هل تدري يا ابن أم عبد, كيف حكم الله فيمن بغى من هذه الامة ؟ قال : الله و رسوله أعلم. قال لا يجهز على جريحها, و لا يقتل أسيرها, و لا يطلب هاربها, و لا يقسم فيءوها. رواه البزار و الحاكم, و صححه فوهم, لأن في إسناده كوثر بن حكيم, وهو متروك.
Terjemah:                                             
Dari Ibnu ‘Umar. Ia berkata : Telah bersabda Rasulullah saw. : “Tahukah engkau hai anak Ummi ‘Abd. Bagaimana hukum Allah tentang orang yang bughat dari umat ini ?” Ia jawab : Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Sabdanya : “Tidak boleh dimatikan yang luka daripadanya, dan tidak boleh dibagi hartanya yang dirampas. Diriwayatkan-dia oleh Bazzar dan Hakim dan ia shahkan dia, tetapi ia keliru karena di isnadnya ada Kautsar bin Hakim, sedang dia itu matruk.

2.      Realitas Ketentuan Hukum Murtad dalam Islam

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ : الثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ (رواه البخاري ومسلم)
a.       Terjemah Hadits
Dari Ibnu Mas’ud radiallahuanhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan bahwa saya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) adalah utusan Allah kecuali dengan tiga sebab : Orang tua yang berzina, membunuh orang lain (dengan sengaja), dan meninggalkan agamanya berpisah dari jamaahnya.
(Riwayat Bukhori dan Muslim)

b.      Penjelasan Hadits
Kata laa yahillu yang kemudian disusul dengan istitsna lafadz illa, memberikan pemaham mafhum mukhalafah bahwasannya ada yang dihalalkan darahnya yaitu orang tua yang berzina, membunuh orang lain (dengan sengaja), dan meninggalkan agamanya berpisah dari jemaahnya. Berkaitan dengan orang yang murtad ini atau orang yang meninggalkan agamanya, darahnya menjadi halal dalam artian haq jika dia dibunuh juga. Konsekuensi dari tindakan ini, selain itu dapat menggugurkan semua nilai kebaikan yang pernah dimilikinya sebelum ia murtad. Tidak hanya sampai di situ, seseorang yang murtad juga berhak mendapatkan azab yang pedih di akhirat.
Allah swt berfirman:
y7tRqè=t«ó¡oÇ`tã̍ök¤9$#ÏQ#tysø9$#5A$tFÏ%ÏmŠÏù(ö@è%×A$tFÏ%ÏmŠÏù׎Î6x.(<|¹ur`tãÈ@Î6y«!$#7øÿà2ur¾ÏmÎ/ÏÉfó¡yJø9$#urÏQ#tyÛø9$#ßl#t÷zÎ)ur¾Ï&Î#÷dr&çm÷YÏBçŽt9ø.r&yYÏã«!$#4èpuZ÷GÏÿø9$#urçŽt9ò2r&z`ÏBÈ@÷Fs)ø9$#3Ÿwurtbqä9#ttƒöNä3tRqè=ÏG»s)ãƒ4Ó®LymöNä.rŠãtƒ`tãöNà6ÏZƒÏŠÈbÎ)(#qãè»sÜtGó$#4`tBur÷ŠÏs?ötƒöNä3ZÏB`tã¾ÏmÏZƒÏŠôMßJuŠsùuqèdur֍Ïù%Ÿ2y7Í´¯»s9'ré'sùôMsÜÎ7ymóOßgè=»yJôãr&Îû$u÷R9$#ÍotÅzFy$#ur(y7Í´¯»s9'ré&urÜ=»ysô¹r&Í$¨Z9$#(öNèd$ygŠÏùšcrà$Î#»yzÇËÊÐÈ
Terjemah:

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. dan berbuat fitnah[135] lebih besar (dosanya) daripada membunuh. mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
(Al-Baqarah:217)
                                                                              
[135] Fitnah di sini berarti penganiayaan dan segala perbuatan yang dimaksudkan untuk menindas Islam dan muslimin.
Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang muslim mana pun yang keluar dari agama Islam dan ia tetap berada di dalam kekafiran hingga ia meninggal dunia, maka seluruh nilai kebaikan yang pernah dimilikinya akan hilang. Ia telah diharamkan dari buah kebaikannya di kehidupan dunia. Karena itu, ia tidak lagi memiliki hak seperti yang dimiliki oleh kaum muslimin yang lainnya. Selain itu, ia juga akan diharamkan dari kenikmatan akhirat yang seharusnya dapat diraih oleh seorang muslim.Selain itu, Islam juga telah menetapkan hukuman yang dapat dirasakan segera di dunia bagi mereka selain azab yang dijanjikan bagi mereka di kehidupan akhirat.
Diriwayatkan juga dari Jabir r.a. bahwa dikisahkan ada seorang perempuan yang dikenal dengan Ummu Marwan telah murtad dari agama Islam. Kemudian Nabi saw memerintahkan para sahabat untuk menawarkan kembali Islam kepadanya, jika ia bertobat, ia akan kembali menjadi muslim, sedangkan jika ia menolak, ia dapat hukuman dibunuh.       Dikisahkan juga bahwa Abu Bakar r.a. memerangi orang-orang Arab badui yang murtad dari agama Islam hingga mereka kembali kepada agama Islam. Tidak ada seorang ulama pun yang berbeda pendapat mengenai hukum murtad ini.
Para ulama berbeda pendapat pada masalah perempuan yang murtad. Abu Hanifah berpendapat bahwa jika seorang perempuan keluar dari agama Islam, ia tidak akan dibunuh, melainkan dipenjara. Perempuan ini akan dikeluarkan dari penjara setiap hari dan ditawarkan Islam kembali hingga ia kembali memeluk Islam. Tindakan ini dilakukan terus-menerus hingga ajal menjemputnya. Pengharaman ini berlandaskan sabda Rasulullah saw yang melarang untuk membunuh para perempuan.
Pendapat ini bersilangan dengan apa yang diasumsi oleh jumhur fuqaha. Mereka memandang bahwa hukuman seorang perempuan yang telah murtad seperti hukuman laki-laki yang murtad, tanpa perbedaan sama sekali. Bagi jumhur, pengaruh dan bahaya dari perempuan yang murtad tidak berbeda dengan apa yang diakibatkan dari seorang laki-laki yang murtad. Selain itu pendapat mereka berdasarkan hadits Muadz yang berderajat hasan menurut pandangan Hafiz bahwa Nabi saw bersabda kepadanya ketika mengutusnya ke negeri Yaman,
اَيُّمَا رَجُلٍ ارْتَدَّ عَنِ الْإِسْلَا مِ فَادْ عُهُ فَإِنْ عَا دَ وَ إِلَّا فَاضْرِبْ عُنُقَهُ وَ اَيُّ مَا امْرَأَةٍ ارْ تَدَّ تْ عَنِ الْاِسْلَامِ فَادْ عُهَا فَإِنْ عَا دَ تْ وَ إِلَّا فَاضْرِبْ عُنُقَهَا.
Terjemah:
Jika kamu mendapatkan laki-laki mana pun yang murtad dari agama Islam, ajaklah ia untuk kembali memeluk Islam. Jika ia kembali, diamkanlah ia. Namun jika ia menolak, maka bunuhlah ia. Dan jika kamu mendapatkan peremmpuan manapun yang murtad dari agama Islam, ajaklah ia untuk kembali memeluk Islam. Jika ia kembali, diamkanlah. Namun jika ia menolak, bunuhlah ia.”[11]
Diriwayatkan bahwa Abu Bakar r.a. meminta seorang perempuan untuk bertobat kembali memeluk Islam. Perempuan itu dikenal sebagai Ummu Qirfah. Ia telah murtad dari agama Islam namun enggan bertobat, maka Abu Bakar r.a membunuhnya.Hadits yang melarang membunuh perempuan berlaku pada saat perang karena kelemahan mereka. Selain itu, para perempuan biasanya tidak ikut berperang. Karena itu, Nabi saw melarang para sahabat untuk membunuh perempuan. Ketika Nabi saw melihat wanita terbunuh. Nabi saw berkata, “Sungguh, wanita ini tidak ikut berperang.”Atas landasan itu, Nabi saw melarang umatnya untuk membunuh wanita.Para perempuan disamakan dengan laki-laki dalam seluruh penegakan hukum tanpa pengecualian. Seperti hal nya perempuan juga dijatuhi hukuman ranjam jika berzina setelah menikah, maka ia juga akan dijatuhi hukuman bunuh jika murtad. Tidak ada perbedaan dalam keduanya.
Menjadi hal yang sangat penting juga selain mengetahui konsekuensi dari tindakan murtad itu sendiri dengan adanya hukuman mati bagi para pelakunya, menjadi suatu yang harus lebih diperhatikan ialah faktor atau sebab yang menjadikan seorang muslim terjerembab dalam kemurtadan. Jika mengamati tentang sebab-sebab yang dapat menjadikan seorang muslim menjadi murtad. Seperti pada salah satu bagian dari makalah ini yang menjelaskan mengenai faktor-faktor yang menjadikan seorang muslim menjadi murtad, dapat disimpulkan dan diklasifikasi bahwasannya murtad itu  terbagi menjadi tiga macam yaitu :
1)      Murtad ‘Itiqad (Keyakinan), seperti ragu terhadap adanya Allah, ragu terhadap rasul, ragu terhadap Al-Qur’an, menghalalkan perkara yang telah diharamkan, mengharamkan perkara yang telah dihalalkan, menolak wajibnya shalat fardlu, puasa ramadlan, mengazam akan murtad di masa yang akan datang.
2)      Murtad Perbuatan, seperti sujud terhadap berhala, matahari, dan makhluk lain. Kecuali sujud karena dharurat, seperti terpaksa sujudnya seorang tawanan perang terhadap berhala ketika berhadapan dengan kafir karena tawanan tersebut takut kepada si kafir. Persoalan mengenai ruku’ dan sujud, apabila ada seseorang yang ruku’ terhadap makhluk karena mengagungkan, seperti mengagungkannya dia terhadap Allah maka hal tersebut merupakan kekufuran (kafir). Tetapi apabila dia ruku’ bermaksud tidak seperti mengagungkan kepada Allah, atau dia mutlak melakukan ruku’ saja tanpa ada maksud apa-apa, maka hal tersebut tidak termasuk kufur, namun perbuatan tersebut haram. Berbeda hal nya dengan sujud, perbuatan sujud terhadap makhluk dengan motif apapun, sekalipun itu tanpa ada maksud mengagungkan maka hal tersebut haram dilakukan dan termasuk kedalam kekufuran.[12] Adapun jika ada suatu tradisi yang berjalan di masyarakat seperti menundukan kepala, kemudian membungkukan badan, selama itu tidak sampai melebihi dari paling sedikitnya batasan ruku’ maka hal tersebut tidak termasuk kufur dan haram tetapi makruh, demikianlah menurut as-Syarqawi dan al-Bujairimi.[13]
3)      Murtad Ucapan, diantara bentuk murtad ucapan ialah:
a)      Berkata terhadap orang Islam dengan memanggilnya, kafir, yahudi, atau orang yang tak beragama dengan bermaksud bahwa orang yang dipanggilnya itu kafir.
b)      Memperolok asma’ Allah, janji-Nya, dan ancaman-Nya.Seperti ucapan seseorang, “ Jika Allah memerintahkan sesuatu kepadaku maka aku tidak akan mengerjakannya.”, dan seperti ucapan. “Seandainya Allah memberikan aku surga, maka aku tidak akan memasukinya.” Hal itu dia ucapkan semata-mata karena meremehkan.
c)      Mencacimaki Nabi
d)     Berkata terhadap orang muslim, “Aku adalah musuhmu dan musuh Nabimu”
e)      Berkata terhadap Syarif (keturunan Rasulullah), “Aku adalah musuhmu dan musuh kakekmu.” Dengan bermaksud pada Nabi Muhammad saw.

Kesimpulannya, bahwasannya setiap ‘Itiqaad, perbuatan, maupun ucapan yang mengandung unsur dan menunjukan penghinaan dan pelecehan kepada Allah, Rasul-Nya, Malaikat-Nya, janji-Nya, ancaman-Nya, maka hal tersebut merupakan kekufuran dan kemaksiatan yang mesti dihidari oleh setiap muslim.
ain itu, tindakan murtad
                        Kemudian melihat realitas bahwa hukuman bagi orang yang murtad ialah dengan membunuhnya. Namun, meskipun demikian ternyata dibalik  memberikan hukuman dengan eksekusi mati tersebut itu terdapat hikmah yang bisa diambil oleh setiap muslim jika mereka merenungkannya.Karena Islam merupakan metode lengkap dan sempurna bagi kehidupan. Islam merupakan agama sekaligus peraturan negara. Islam merupakan ibadah dan kepemimpinan. Islam juga mushaf (kitab suci) dan pedang, roh sekaligus materi, panduan dunia sekaligus akhirat. Islam didasarkan atas akal dan pikiran. Islam berdiri di atas hujah dan dalil. Tidak anda satupun tuntunan aqidah dan tuntunan hidup Islam yang bertentangan dengan fitrah manusia atau berdiri sebagai satu dinding pemisah tanpa mencapai kesempurnaan materi dan maknawi. Barang siapa yang telah menyelami dan memeluk Islam, maka ia akan mengetahui hakikat Islam serta dapat merasakan nikmatnya Islam.
Jadi, jika seseorang keluar dari agama Islam setelah ia memeluk dan mengetahui Islam, maka ia telah keluar dari jalan yang seharusnya sesuai dengan akal. Ia telah jauh dari cahaya kebenaran dan dalil yang lurus, menyimpang dari akal yang benar dan fitrah yang suci. Manusia mana pun, ketika telah mencapai derajat seperti ini berarti telah murtad dan jatuh ke tingkatan paling rendah seperti ia juga telah benar-benar jatuh ke arah permukaan. Orang seperti ini tidak lagi perlu dijaga dan dipelihara kehidupannya. Tidak perlu juga lelah meneruskan penjagaan hayatnya karena kehidupannya tidak lagi memiliki tujuan yang mulia dan maksud yang terpuji. Hal ini jika dilihat dari satu sisi.
Adapun sisi lain, sesungguhnya Islam lebih merupakan suatu metode umum dalam kehidupan, peraturan yang mencakup segala norma dan akhlak yang baik. Peraturan dan metode dalam kehidupan ini pasti memerlukan pagar yang dapat terus menjaga, membutuhkan lapisan baja yang memeliharanya. Tidak ada satu peraturan pun yang dapat berdiri tanpa pemeliharaan dan penjagaan khusus dari segala sesuatu yang dapat merobohkan dan mengguncangkan bangunan peraturan itu. Tidak ada satu pun yang lebih kuat dalam menjaga peraturan serta memeliharanya dari pada pelarangan untuk keluar dari jalur yang telah ditetapkan (dari metode itu sendiri).Keluar dari metode dan peraturan yang telah ditegakan Islam berarti dapat merobohkan eksistensi Islam itu sendiri lalu mengantarkan Islam ke gerbang kemunduran dan kejatuhan.
Sesungguhnya keluar dari agama Islam atau murtad merupakan suatu pergolakan. Pelaku pergolakan itu layak diberi balasan dengan ketetapan hukum yang telah ditetapkan oleh undang-undang negara dan ketetapan yang disepakati bersama.Manusia mana pun, di negara mana pun, di negeri komunis atau kapitalis, jika ada seseorang yang keluar dari undang-undang negara maka ia di sebut sebagai pengkhianat tidak ada hukuman yang pantas dijatuhkan padanya, kecuali hukuman bunuh.Jadi peraturan Islam yang menjatuhkan hukum bunuh bagi orang yang murtad, sesuai dengan jalan pikiran manusia dan ketentuan-ketentuan yang ada.


















BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan.
             Pada dasarnya Ahlul Baghyi ialah kaum muslimin yang membangkang terhadap Imam muslimin (Khalifah) yang memiliki kekuatan dan mempunyai potensi untuk meruntuhkan kepemerintahan yang sedang berdaulat. Satus Ahlul Baghyi dengan tindakan pembangkangannya merupakan sebuah tindakan kefasikan, hanya saja tak menjadikannya menjadi seorang yang kafir atau keluar dari agama Islam.  Namun meskipun demikian, Ahlul Baghyi mesti diperangi karena dia telah berusaha untuk mencopot kesetiaanya terhadap seorang Imam, tidak taat kepadanya dan dapat mengganggu stabilitas kepemerintahan. Padahal ketaatan terhadap seorang pemimpin atau Imam merupakan suatu kewajiban dalam Islam, selagi perintah dan amanat dari seorang Imam tidak mengarah kepada kemaksiatan dan perbuatan durhaka.
             Selain itu, orang-orang yang membangkang dari ketaatan kepada imam itu bisa sebagai qutha ath-thariq atau bughat atau khawarij yaitu yang mengkafirkan (orang muslim) dengan sebab dosa serta menghalalkan darah dan harta kaum muslimin dan mereka ini adalah orang-orang fasik yang boleh diperangi secara langsung. Ketiga macam kelompok ini adalah keluar membangkang terhadap imam, barangsiapa mati dari golongan mereka itu maka ia mati di atas jalan ahlul jahiliyyah.
             Murtad ialah  keluarnya seorang mukallaf dari agama Islam dengan sebab kufuran, baik keyakinan, ucapan, maupun perbuatan.Tindakan murtad merupakan tindakan kekafiran yang sangat berat (afhasyu Syai’i min anwaa’il kufri), dan menjadikan status hukum orang yang melakukannya keluar dari Islam. Sehingga seorang yang murtad darahnya menjadi halal, hak-hak ketika ia masih menjadi muslim menjadi hilang, seperti hak terhadap warisan, hubungan suami-istri, dll. Dan apabila meninggal ia tidak boleh disholatkan, dimandikan, dikafani, serta dikuburkan di pekuburan muslim. Sudah seharusnya semua muslim bisa menjaga dirinya, anak-istrinya, dan seluruh keluarganya supaya terhindar dan jauh dari tindakan murtad dan menjaga batasannya, supaya tidak keluar menerjang faktor-faktor yang mnyebabkannya menjadi murtad. Baik itu murtad ‘itiqad, ucapan, maupun perbuatan. Wal ‘Iyaadzu Billaah....,
B.     Saran
Dengan pertolongan Allah, Alhamdulillah makalah ini dapat diselesaikan. Semoga dengan hadirnya makalah ini kepada tangan para pembaca, dapat menambah khazanah keilmuannya dan bisa menambah pemahman dalam beragama. Kritik dan saran senantiasa penulis nantikan...,






















DAFTAR PUSTAKA

·         Abdullah bin Husein Ba ‘Alawy. Sulam at-Taufiq.Semarang: Maktabah Karya Toha Putra.
·         Aby Syuja’, Ahmad bin Husein. At-Taqrib. Jeddah: Maktabah Haramain.
·         A.Hassan. Tarjamah Bulughul Maram. Bangil: Cv. Pustaka Tamam. 1991
·         Ahmad Sunarto. Tarjamah Shahih Bukhari Jilid IX. Semarang: Cv. Asy Syifa.1993
·         H. Sualiman Rasjid. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo.2011
·         Muhammad An-Nawawi. Mirqaatus Shu’uud at-Tashdiiq. Semarang: Maktabah Karya Toha Putra.
·         Muhammad bin Qasim Al-Ghazi.Fathul Qarib. Jeddah:Maktabah al-Haramain
·         M.Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati.2009
·         Muhammad Syamsil Haqqil Adzim. Aunul Ma’bud Fii Syarhi Sunan Abi Dawud. Beirut-Lebanon: Darul Fikr.2003
·         Sayid Muhammad Sabiq. Fiqih Sunnah, Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi. 2008
·         W.J.S. Poerwadarmita. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka: 2006
·         Zainuddin bin ‘Abdul ‘Aziiz Al-Malibary. Fathul Mu’in. Semarang: Maktabah ‘Alawiyah.



[1] Muhammad bin Qasim Al-Ghazi.Fathul Qarib. Maktabah al-Haramain.hal.58
[2] Sulaiman Rasjid. Fiqih Islam. Sinar Baru Algesindo. Hal.444
[3]A.Hassan. Tarjamah Bulughul Maram. Bangil: Cv. Pustaka Tamam.1991.hal.636
[4]Sayid Muhammad Sabiq. Fiqih Sunnah, Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi. 2008 hal. 211
[5]Zainuddi al-Malibary. Fathul Mu’in,  Semarang: Maktabah ‘Alawiyah. hal.127
[6]Sayid Muhammad Sabiq. Fiqih Sunnah, Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi. 2008 hal. 212
[7] M.Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta; Lentera Hati. Hal.741
[8]A.Hassan. Tarjamah Bulughul Maram. Bangil: Cv. Pustaka Tamam.1991.hal.635
[9]Abu Syuja’, Ahmad bin Husein. At-Taqrib. Sanaqafurah-jeddah. Indonesia: Maktabah al-Haramain.hal.58
[10] M.Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta; Lentera Hati. Hal.595
[11] Muhammad Syamsil Haqqil Adzim. Aunul Ma’bud. Beirut-Lebanon: Darul Fikr.2003.hal.4
[12] Muhammad Nawawi. Mirqaat Ash-Shu’ud At-Tashdiq. Semarang: Karya Toha Putra. hal.11
[13]Ibid. hal. 12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar