BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Thaharah merupakan
miftah (alat pembuka) pintu untuk memasuki ibadah shalat. Tanpa thaharah pintu
tersebut tidak akan terbuka . Artinya tanpa thaharah, ibadah shalat, baik yang
fardhu maupun yang sunnah, tidak sah. Karena fungsinya sebagai alat pembuka
pintu shalat, maka setiap muslim yang akan melakukan shalat tidak saja harus
mengerti thaharah melainkan juga harus mengetahui dan terampil melaksanakannya
sehingga thaharahnya itu sendiri
terhitung sah menurut ajaran ibadah syar’iah.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Thaharah?
2. Apa saja alat yang digunakan dalam Thaharah?
3. Apa saja macam-macam daripada thaharah?
4. Apa pengertian dari hadats dan najis?
1.3 Tujuan
Æ Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam
Æ
Menambah wawasan
penulis dan pembacanya mengenai thaharah
Æ
Untuk memahami
cara-cara bersuci yang dikehendaki oleh syari’at islam dan mempraktekkannya
dalam menjalani ibadah sehari-hari.
1.4 Metode Penyusunan
Kami
menggunakan metode kepustakaan yaitu dengan cara mengumpulkan buku – buku yang
direkomendasikan serta mengkaji dan mencuplik makalah yang telah kami kaji.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Thaharah
Thaharah menurut bahasa ialah an-nadzhaafah yang artinya
bersih atau suci. Sedangkan menurut istilah banyak sekali Fuqaha
mendefinisikannya, diantaranya ialah Setiap perbuatan yang dapat membolehkan
untuk melakukan shalat seperti wudhu, mandi besar, dan tayamum. Dalam hukum
islam bersuci dan segala seluk beluknya adalah termasuk bagian ilmu dan amalan
yang penting, karena diantara syarat-syarat ibadah yang telah ditetapkan bahwa
seseorang yang akan mengerjakan ibadah wajib bersuci dari hadats dan suci pula
badan, pakaian dan tempatnya dari najis. Sehingga sholat tidak sah dikerjakan
kecuali dengan bersuci terlebih dahulu.
Thaharah menurut
pengertian etimologis adalah suci dan bersih, seperti kalimat “Thahhartu
al-tsauba”, maksudnya “aku mencuci baju itu sampai bersih dan suci”.
Menurut pengertian syara’, thaharah adalah mensucikan diri dari hadats atau
najis seperti mandi, berwudhu’, tayamum dan sebagainya. Masih dalam pengertian
bersuci, kegiatan yang serupa dengan ketentuan di atas, seperti mandi atau
mencuci dengan berulang kali, memperbaharui wudhu dan tayamum, mandi yang
disunnahkan dan yang semakna dengan itu meskipun tidak bermaksud menghilangkan
hadats atau najis.
Dalam pandangan Islam, masalah bersuci dan segala yang
berkaitan dengannya merupakan kegiatan yang sangat penting, karena diantara
syarat syahnya shalat ditetapkan agar orang yang mengerjakannya suci dari
hadats, suci badan, pakaian dan tempatnya dari najis. Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri”. (Q.S. al-Baqarah, 2 : 222).
Para ulama sepakat
bahwa bercuci tidak sah kecuali dengan air. Diriwayatkan dari ibnu abi laila
dan al-‘asim tentang bolehnya bersuci dengan menggunakan cairan yang lain.
Imam Malik Bin Annas, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad Bin Hambal : Najis tidak dapat dihilangkan kecuali dengan air. Imam Abu Hanifah : najis dapat dihilangkan dengan segala cairan yang suci[1].
Imam Malik Bin Annas, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad Bin Hambal : Najis tidak dapat dihilangkan kecuali dengan air. Imam Abu Hanifah : najis dapat dihilangkan dengan segala cairan yang suci[1].
2.2
Alat untuk berthaharah
1.
Air
Air yang dapat digunakan untuk bersuci adalah air yang suci dan mensucikan. Air yang suci dan mensucikan ini di antaranya adalah air hujan, air laut,air sumur,air danau dll.
tapi, sebagian ulama ahli fiqih ada yang melarang berwudlu dengan air laut. Ada juga sekelompok ahli fiqih yang membolehkannya ketika dalam keadaan darurat saja. Sementara itu, ada ahli fiqih lain yang membolehkan bertayamum walaupun ada air laut untuk berwudlu.
Air yang dapat digunakan untuk bersuci adalah air yang suci dan mensucikan. Air yang suci dan mensucikan ini di antaranya adalah air hujan, air laut,air sumur,air danau dll.
tapi, sebagian ulama ahli fiqih ada yang melarang berwudlu dengan air laut. Ada juga sekelompok ahli fiqih yang membolehkannya ketika dalam keadaan darurat saja. Sementara itu, ada ahli fiqih lain yang membolehkan bertayamum walaupun ada air laut untuk berwudlu.
2.
Tanah
Para
ulam ahli fiqih sepakat bahwa tanah yang
suci bisa digunakan untuk berthaharah. Bersuci dengan tanah ini disebut dengan
istilah tayamum.
para imam madzhab sepakat bahwa tayamum adalah dengan tanah yang suci (ash-sha’id), ketika tidak ada air atau ada air, tetapi takut menggunakannya. Namun, mereka berbeda pendapat tentang hakikat ash-sha’id. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Bin Hambal : Ash-sha’id adalah at-turab (tanah).oleh karena itu, tidak boleh bertayamum kecuali dengan tanah yang suci atau dengan pasir berdebu. Imam Abu Hanifah dan Imam Malik Bin Annas: ash-sha’id adalah al-ardh (tanah). Oleh karena itu, boleh bertayamum dengan tanah dan segala macam bagiannya, walaupun dengan batu yang tidak bertanah dan pasir yang tidak berdebu
para imam madzhab sepakat bahwa tayamum adalah dengan tanah yang suci (ash-sha’id), ketika tidak ada air atau ada air, tetapi takut menggunakannya. Namun, mereka berbeda pendapat tentang hakikat ash-sha’id. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Bin Hambal : Ash-sha’id adalah at-turab (tanah).oleh karena itu, tidak boleh bertayamum kecuali dengan tanah yang suci atau dengan pasir berdebu. Imam Abu Hanifah dan Imam Malik Bin Annas: ash-sha’id adalah al-ardh (tanah). Oleh karena itu, boleh bertayamum dengan tanah dan segala macam bagiannya, walaupun dengan batu yang tidak bertanah dan pasir yang tidak berdebu
Imam Malik Bin
Annas menambahkan : boleh bertayamum dengan apa saja yang berkaitan dengan
bumi, seperti tumbuh-tumbuhan[2].
2.3
Pembagian Thaharah
Thaharah terbagi dua:
1. Thaharah Lahiriyyah disebut juga suci dari
najis, mencakup kebersihan tubuh, pakaian, tempat shalat dan segala yang najis.
2. Thaharah Hukmiyyah disebut juga suci dari
hadats, meliputi wudhu’, mandi dan tayammum.
A. Wudhu
Secara bahasa wudhu
artinya husn atau indah. Wudhu adalah salah satu cara bersuci yang dilakukan
oleh seorang muslim berdasarkan perintah Allah dalam Al-Qur’an. Firman Allah
s.w.t dalam surat Al-Maidah ayat 6 :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ
إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ
تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ
نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ.
Artinya: “ Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu
sakit [403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (WC) atau
menyentuh perempuan [404] ,lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah
dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.
Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur (QS. Al- Maidah : 6)
[403] maksudnya: sakit
yang tidak boleh kena air.
[404] artinya:
menyentuh. Menurut jumhur ialah: menyentuh sedang sebagian mufassirin ialah:
menyetubuhi.
a) Syarat-syarat Wudhu’
1. Islam.
2. Mumayyiz, karena wudhu itu ibarat yang wajib berniat sedang orang yang
tidak beragama Islam dan orang yang belum mumaiyiz tidak diberi hak untuk
berniat.
3. Tidak berhadats besar.
4. Dengan air yang suci mensucikan.
5. Tidak ada yang menghalangi sampainya air ke kulit; seperti getah dan
sebagainya yang melekat di atas kulit anggota wudhu.
b) Fardhu (Rukun) Wudhu’
1. Niat
2. Membasuh muka
3. Membasuh kedua tangan sampai siku
4. Mengusap (menyapu) kepala
5. Membasuh kedua kaki sampai mata kaki
6. Tertib
c) Sunnah Wudhu’
1. Membaca Basmalah pada permulaan wudhu’
Tiga imam madzhab :
membaca basmalah ketika berwudhu adalah sunnah, bukan wajib. Imam Ahmad bin Hambal
dalam riwayat yang paling shohih : membaca basmallah ketika berwudhu adalah
wajib. Dawud berpendapat : wudhu tanpa
membaca basmalah tidak sempurna, baik
meninggalkannya karena lupa maupun sengaja. Ishak bin Rahawaih
berpendapat: jika berwudhu tanpa membaca
basmalah karena lupa maka wudhunya sah, tetapi jika sengaja maka wudhunya tidak
sah[3].
2. Membasuh 2 telapak tangan sampai kepada kedua pergelangan tangan 3x
Para ulama sepakat bahwa membasuh
kedua telapak tangan sebelum berwudhu adalah sunnah, bukan wajib. Imam Ahmad
bin Hambal : Hal itu adalah wajib jika berwudhu sesudah bangun tidur malam,
bukan tidur siang. Sebagian dari kelompok
azh-zhariyyah mengatakan : Hal itu wajib secara mutlak, bukan karena
najis, tetapi semata-mata sebagai ibadah[4].
3. Berkumur-kumur
Imam Malik bin Annas
dan Imam Syafi’i: Berkumur dan menghirup air kedalam hidung adalah sunnah di
dalam wudhu dan mandi. Imam Ahmad bin Hambal : Hal itu adalah wajib[5].
4. Menghirup air kedalam hidung
5. Menyela-nyela jari baik tangan maupun kaki
6. Mengusap bagian luar dan dalam telinga
Imam abu Hanifah, Imam Malik
bin Annas, dan Imam Ahmad bin Hambal: Kedua telinga termasuk bagian kepala.
Oleh karena itu, disunnahkan mengusap keduanya ketika mengusap kepala. Selain
itu, mereka berpendapat bahwa sunnah mengusapnya sekali saja. Imam Syafi’i:
Menyapu kedua daun telinga adalah sunnah. Disunnahkannya mengusap telinga tiga
kali. Mengusapnya dengan air yang baru, yaitu sesudah mengusap kepala, bukan
air sisa mengusap kepala[6].
7. Mendahulukan anggota kanan daripada kiri
8. Mengulangi basuhan sebanyak 3x
9. Menggosok-gosok anggota wudhu agar lebih bersih
10. Melebihkan sedikit batas bagian yang diwajibkan dibasuh
11. Menggunakan air secukupnya
12. Mengakhiri wudhu dengan membaca do’a
13. Melaksanakan shalat sunnah selesai wudhu.
d) Yang Membatalkan Wudhu
1. Keluarnya sesuatu dari 2 lubang ( qubul dan dubur )
2. Hilang akal/ kesadaran ( pingsan, gila, mabuk, dll)
3. Tidur
4. Menyentuh Kemaluan
5. Bersentuhan kulit laki-laki dewasa dengan wanita dewasa yang disertai
dengan syahwat.
B. Mandi
Yang dimaksud dengan
mandi disini adalah mengalirkan air keseluruh badan dengan niat. Firman Allah
s.w.t :
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا
فَاطَّهَّرُوا
Artinya:”....Apabila
kamu junub hendaklah bersuci” (Al-Maidah :6)
Mandi dibedakan menjadi
dua:
1) Mandi Wajib
A) Sebab-sebab mandi wajib :
1. Keluar mani
Imam Syafi’i: Keluar
mani mewajibkan mandi, meskipun tidak disertai rasa nikmat. Imam Abu Hanifah
dan Imam Malik bin Anas berpendapat, Jika keluarnya tidak disertai rasa nikmat
maka tidak wajib mandi. Seseorang telah selesai mandi wajib, lalu keluar mani,
menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambali, jika keluarnya mani
sesudah kencing maka tidak wajib mandi. Namun jika keluarnya sebelum kencing
maka wajib mandi. Menurut Imam Syafi’i: Wajib mandi secara mutlak dan Menurut
Imam Malik bin Hambal: Tidak wajib mandi sama sekali. Apabila keluarnya mani
dengan terpancar ataupun tidak, menurut Imam Syafi’i: Wajib mandi. Imam Abu
Hanifah, Imam Malik bin Annas, dan Imam Ahmad bin Hambal: Jika keluarnya tidak
memancar, tidak wajib mandi[7].
2. Hubungan badan(bersetubuh), meskipun tidak keluar mani
Empat imam madzhab
sepakat bahwa apabila seorang laki-laki telah bersetubuh dengan seorang
perempuan dan bertemu kedua kelaminnya, meskipun tidak keluar mani, mereka
wajib mandi. Dawud berpendapat, “Mandi tidak wajib, kecuali keluar mani. “
Demikian juga pendapat sekelompok sahabat Nabi SAW.
Imam Syafi’i, Imam Anas
bin Malik dan Imam Ahmad bin Hambali berpendapat bahwa tidak ada perbedaan
antara kelamin manusia dan kelamin binatang. Imam Abu Hanifah: Tidak wajib
mandi karena menyetubuhi binatang kecuali keluar mani[8].
3. Berhenti dari haidh dan nifas
Menurut Ijma: Apabila
perempuan haid dalam keadaan junub, lalu bersuci, cukup baginya mandi sekali
untuk haid dan janabahnya. Diriwayatkan dari kelompok Azh- Zhahiriyyah:
Perempuan itu wajib mandi dua kali[9].
4. Masuk Islam
Orang kafir masuk
islam, menurut Imam Malik bin Anas dan Imam Ahmad bin Hambal: Ia wajib mandi
sesudah masuk Islam. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i: Disunnahkan mandi[10].
5. Meninggal
2) Mandi Sunnah
A) Sebab-sebab mandi sunnah:
1. Hari Jum’at dan hari raya
2. Usai memandikan mayat
3. Memulai ihram untuk haji dan umrah
4. Shalat Istisqa (Sholat mohon hujan)
5. Shalat Gerhana Bulan
6. Shalat Gerhana Matahari
7. Bagi orang kafir ketika masuk islam
8. Bagi orang gila setelah sembuh
9. Bagi orang pingsan setelah sadar
10. Masuk Mekkah
11. Wuquf (berhenti di Arafah)
12. Mandi untuk masuk Madinah Al Munawwarah, dll.
a) Fardhu (Rukun) Mandi
1. Niat.
Orang yang junub
hendaklah berniat (menyengaja) menghilangkan hadats junubnya, perempuan yang
baru selesai haid hendaklah berniat menghilangkan hadats kotorannya dan
seterusnya.
2. Menyampaikan/ mengalirkan air keseluruh tubuh.
b) Sunat-Sunat Mandi
1. Membaca Basmalah pada permulaan mandi
2. Berwudhu sebelum mandi
3. Menggosok-gosok seluruh badan dengan tangan
Menggosok badan dengan
tangan ketika mandi wajib adalah sunnah, bukan wajib, kecuali menurut Imam
Malik bin Annas.
4. Mendahulukan yang kanan dari yang kiri
5. Berturut-turut (Tertib)
c) Larangan bagi yang junub
1) Shalat dan thawaf di sekitar ka’bah
2) Memegang dan membawa mushaf Al-Qur’an
Empat Imam Madzhab: orang junub dilarang
menyentuh dan membawa mushaf(Al-
Qur’an).
3) Membaca Al- Qur’an
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal:
orang junub dilarang membaca Al-Qur’an sedikit ataupun banyak. Imam Abu
Hanifah: Boleh, jika membacanya sebagian saja. Imam Malik bin Annas: boleh
membaca satu atau dua ayat[11].
4) Duduk dan berhenti di mesjis
C. Tayammum
Tayamum
yaitu menyapukan tanah kemuka dan kedua
tangan sampai siku dengan beberapa syarat. Tayamum adalah pengganti wudhu atau
mandi, sebagai rukhsoh(keringanan)untuk orang yang tidak dapat memakai air
karena beberapa halangan (udzur):
1.
Uzur
karena sakit, kalau ia memakai air bertambah sakitnya atau lambat sembuhnya,
menurut keterangan dokter atau dukun yang telah berpengalaman tentang penyakit serupa
itu.
Barang
siapa merasa khawatir akan mati jika menggunakan air, ia boleh bertayamum. Di
dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Akan tetapi,
jika ia takut bertambah parah sakitnya, bertambah lama sembuhnya, atau takut
menimbulkan sakit baru, tetapi tidak khwatir mati, maka menurut Imam Abu
Hanifah, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad Bin
Hambal, ia boleh bertayamum tanpa harus mengulangi shalatnya setelah
hilang kekhawatirannya.
Atha' dan al-Hasan berpendapat: Orang sakit tidak boleh bertayamum
sama sekali. Orang sakit tidak boleh bertayamum kecuali ketika tidak ada air.
2.
Karena
dalam perjalanan
3.
Karena
tidak ada air
Para
Imam madzhab mereka berbeda pendapat tentang seseorang yang tidak dalam
perjalanan kesulitan memperoleh air. Sementara itu, ia khawatir waktu shalat
akan habis jika mengambil air yang letaknya jauh. Jika mengambilnya,
diperkirakan matahari segera terbit. Dalam hal ini, Imam Syafi’i berpendapat:
Hendaknya ia bertayamum, kemudian shalat. Setelah mendapatkan air, ia harus
mengulang shalatnya. Menurut Imam Malik bin Annas, hendaknya ia bertayamum dan
shalat tanpa harus mengulangi shalatnya jika memperoleh air. Sedangkan menurut
Imam Abu Hanifah, hendaknya ia menunda shalatnya hingga memperoleh air, lalu
mengerjakan shalat yang di tinggalkannya[12].
1)
Syarat
Tayamum
1.
Sudah
masuk waktu sembahyang, tayamum
disyariatkan untuk orang yang terpaksa,sebelum masuk waktu ia belum terpaksa,
sebab sembahyang belum wajib atasnya ketika itu.
Menurut pendapat Imam Malik bin Annas, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad
bin Hanbal: Tidak boleh bertayamum sebelum masuk waktu sholat. Sedangkan Imam
Abu Hanifah membolehkannya.
2.
Susah
diusahakan mencari air tetapi tidak dapat.waktu sudah masuk.
3.
Dengan
tanah suci dan berdebu.
Imam
Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal:
Ash-Sha’id adalah At-Thurab (tanah). Oleh karena itu, tidak boleh bertayamum
kecuali dengan tanah yang suci atau dengan pasir berdebu.Imam Abu Hanifah dan
Imam Malik bin Annas: Ash-Sha’id adalah al-ardh (tanah). Oleh karena itu, boleh
bertayamum dengan tanah dan segala macam bagiannya, walaupun dengan batu yang
tidak bertanah dan pasir yang tidak berdebu. Imam Malik bin Annas menambahkan:
Boleh bertayamum dengan apa saja yang berkaitan dengan bumi, seperti
tumbuh-tumbuhan[13].
4.
Menghilangkan
najis.
2)
Fardu
(Rukun) Tayamum
1.
Niat.
Hendaklah seseorang yang melakukan tayamum berniat karena hendak mengerjakan
sembahyang dan sebagainya.bukan semata-mata hanya untuk menghilangkan hadast
saja, karena sifat tayamum tidak hanya menghilangkan hadast, hanya dibolehkan untuk melakukan
sembahyang karena darurat. Keterangan bahwa niat tayamum, wajib hukumnya ialah
hadist yang mewajibkan niat wudhu yang lalu.
2.
Menyapu
muka dengan tanah
3.
Menyapu
kedua tangan sampai siku dengan tanah.
Empat imam mazhab berbeda pendapat tentang kadar yang memadai dalam
mengusap anggota tayamum. Imam Abu Hanifah dalam riwayat yang masyhur
berpendapat: Dua tepukan; satu untuk wajah dan satu lagi untuk kedua tangan dan
siku. Adapun, pendapat paling sahih dalam mazhab Syafi’i adalah seperti
pendapat Hanafi. Namun, Syaikh Abu Hamid Al- Asfarayini berpendapat, “ Hal itu
telah ditetapkan dalam qaul qadim dan qaul jadid Syafi’i. Oleh karena itu,
mengusap wajah dan kedua tangan sampai siku adalah dengan dua kali tepukan atau
beberapa kali tepukan.”
Imam Malik bin Annas dalam riwayatnya paling masyhur dan Imam Ahmad
bin Hambal berpendapat: Cukup sekali tepukan untuk mengusap muka dan dua
telapak tangan, yaitu bagian dalam jari-jarinya untuk wajah dan bagian dalam
telapak tangan untuk mengusap kedua tangan[14].
4.
Menertibkan
rukun-rukun artinya mendahulukan muka dari pada tangan. Alasan sebagaimana
keterangan menertibkan rukun wudhu yang telah lalu. Sebagian ulama ada yang
berpendapat tidak wajib menertibkan tayamum.
3)
Sunnat
Tayamum
1.
Membaca
bismillah. Dalil hadist sunnat wudhu, karena tayamum ganti wudhu.”
2.
Menghembus
tanah dari dua tapak tangan, agar supaya tanah yang diatas tangan itu menjadi
tipis.
3.
Membaca
dua kalimat syahadat sesudah selasai tayamum sebagaimana sesudah selaesai
wudhu.
4)
Hal-hal
yang Membatalkan Tayamum.
1.
Tiap-tiap
hal yang membtalkan wudhu membtalkan tayamum
2.
Ada
iar, dengan adanya air sebelum sembahyang batallah tayamum bagi orang yang
tayamum karena ketiadaan air.
2.4 Macam-macam Hadats dan
Najis
A. Macam-macam Hadats
a) Hadats Besar
Hadats besar adalah
peristiwa atau keadaan yang mewajibkan seseorang untuk mandi janabat, seperti
keluar mani, bersenggama, haidh dan nifas. Adapun tata cara mandi janabat
adalah sebagai berikut:
1. Mencuci kedua tangan dengan air
2. Membasuh qubul (kelamin) dan dubur
3. Berwudhu’ sebagaimana wudhu’a shalat, namun hanya sampai kepala
4. Mengusap kepala dan menyela-nyela rambut hingga ke pangkalnya dengan air
secara merata
5. Menyiram kepala dan seluruh anggota tubuh dengan air sebanyak tiga kali
kemudian yang terakhir mencuci kaki.
b)
Hadats Kecil
Hadats Kecil adalah
peristiwa atau keadaan yang menyebabkan seseorang harus berwudhu ketika ia
hendak mengerjakan shalat.
B.
Macam-macam
Najis
Yang termasuk najis ringan ini
adalah air seni atau air kencing bayi laki-laki yang hanya diberi minum asi
(air susu ibu) tanpa makanan lain dan belum berumur 2 tahun.
Untuk mensucikan najis mukhafafah
ini yaitu dengan memercikkan air bersih pada bagian yang kena najis.
Segala sesuatu yang
keluar dari kubul dan dubur manusia dan binatang/hewan adalah najis biasa
dengan tingkatan sedang. Air kencing, kotoran buang air besar, termasuk bangkai
(kecuali ikan dan belalang), air susu hewan yang diharamkan untuk memakan
dagingnya, khamar, dan lain sebagainya.
Najis mutawassithah
terbagi atas 2 bagian, yakni :
1)
Najis
‘Ainiyyah : Jelas terlihat rupa, rasa atau tercium baunya.
2)
Najis
Hukmiyyah : Tidak tampat (bekas kencing & miras).
Untuk
membuat suci najis mutawasithah ‘ainiyah caranya dengan dibasuh 1 s/d 3 dengan
air bersih hingga hilang benar najisnya. Sedangkan untuk najis hukmiyah dapat
kembali suci dan hilang najisnya dengan jalan dialirkan air di tempat yang kena
najis.
Najis mugholazah contohnya seperti
air liur anjing, air iler babi dan sebangsanya. Najis ini sangat tinggi
tingkatannya sehingga untuk membersihkan najis tersebut sampai suci harus
dicuci dengan air bersih 7 kali di mana 1 kali diantaranya menggunakan air
dicampur tanah.
·
Tambahan :
Najis Ma’fu adalah najis
yang tidak wajib dibersihkan/disucikan karena sulit dibedakan mana yang kena
najis dan yang tidak kena najis. Contoh dari najis mafu yaitu seperti sedikit
percikan darah atau nanah, kena debu, kena air kotor yang tidak disengaja dan
sulit dihindari. Jika ada makanan kemasukan bangkai binatang sebaiknya jangan
dimakan kecuali makanan kering karena cukup dibuang bagian yang kena bangkai
saja.
“Sesungguhnya
Allah Maha Indah mencintai keindahan, Allah Maha Baik menyukai kebaikan, Allah
Maha Bersih mencintai kebersihan. Karena itu bersihkanlah teras rumah kalian
dan janganlah kalian seperti orang-orang Yahudi” (HR.Tirmizi). Semoga kita bisa
menjaga tubuh dan pakaian kita dari
najis sebelum
kita melakukan ibadah pada Allah SWT.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Thaharah secara bahasa adalah bersih
(nadlafah), suci (nazahah), terbebas (khulus) dari kotoran (danas). Menurut
istilah ahli fiqh, thaharah adalah `, thaharah berarti mensucikan diri, pakaian
dan tempat dari hadats dan najis, khususnya pada saat kita hendak shalat. Hukum
thaharah adalah wajib.
Thaharah wajib hukumnya berdasarkan
firman Allah dan hadits Nabi. Diantaranya Q.S. 2, Al-Baqarah : 222, Al-ma’idah : 6, Al-Muddatstsir : 4, dan beberapa dari hadits
Nabi.
Najis ada dua macam najis dengan
kaitannya dengan cara membersihkannya, yaitu Najis Mukhafaffah, Najis Mughallazah, dan
Najis Mutawassitah.
Wudhu menjadi sah, jika dilakukan dengan memenuhi rukun-rukunnya wudhu, yaitu niat, membasuh muka, membasuh tangan sampai dengan kedua sikut, mengusap kepala, membasuh kaki sampai dengan mata kaki, tertib maksudnya adalah melaksanakannya, baik membasuh maupun mengusap anggota. Setiap mandi wajib maupun sunnah akan menjadi sah apabila dipenuhi rukun-rukunnya. Rukun-rukun mandi tersebut adalah : Niat, Membasuh seluruh anggota badan.
Wudhu menjadi sah, jika dilakukan dengan memenuhi rukun-rukunnya wudhu, yaitu niat, membasuh muka, membasuh tangan sampai dengan kedua sikut, mengusap kepala, membasuh kaki sampai dengan mata kaki, tertib maksudnya adalah melaksanakannya, baik membasuh maupun mengusap anggota. Setiap mandi wajib maupun sunnah akan menjadi sah apabila dipenuhi rukun-rukunnya. Rukun-rukun mandi tersebut adalah : Niat, Membasuh seluruh anggota badan.
3.2 Saran
Dari beberapa penjelasan diatas ada
saran yang ingin kami sampaikan, sebagai generasi islam yang turut menyumbang
dalam pembangunan bangsa, sebaiknya kita memperhatikan dengan seksama masalah
thaharah, karena karena itu kita dituntut untuk memahaminya agar praktik ibadah
kita benar menurut ajaran syar’i.
Daftar Pustaka
Fatah, Abdul Idris. 1990. ” Fiqh Islam Lengkap “. Rineka Cipta, Jakarta.
Sulaiman Rasjid, H. 1994.” Fiqih Islam’. Sinar Baru Algensindo.
Moh. Rifa’i, Drs.1976. ” Risalah Tuntunan Shalat Lengkap “. C.V. Toha Putra Semarang
http://4moslem.wordpress.com/2008/11/04/thaharah-dari-hadats-dan-najis/
http://anakciremai.blogspot.com/2008/05/fiqih-tentang-thaharah-bersuci_09.html
www.geocities.com
Sulaiman Rasjid, H. 1994.” Fiqih Islam’. Sinar Baru Algensindo.
Moh. Rifa’i, Drs.1976. ” Risalah Tuntunan Shalat Lengkap “. C.V. Toha Putra Semarang
http://4moslem.wordpress.com/2008/11/04/thaharah-dari-hadats-dan-najis/
http://anakciremai.blogspot.com/2008/05/fiqih-tentang-thaharah-bersuci_09.html
www.geocities.com
Ibnu Abdurrahman ad-Dimasyqi, Muhammad, 2010. Fiqh Empat Madzhab.
Hasyimi: Bandung.
Pulungan, Khusnul Khair, 2010. Fiqih Ibadah Online. Abu Syahbina:
Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar