Jumat, 21 Maret 2014

Fiqh Mengenai Thaharah



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Thaharah merupakan miftah (alat pembuka) pintu untuk memasuki ibadah shalat. Tanpa thaharah pintu tersebut tidak akan terbuka . Artinya tanpa thaharah, ibadah shalat, baik yang fardhu maupun yang sunnah, tidak sah. Karena fungsinya sebagai alat pembuka pintu shalat, maka setiap muslim yang akan melakukan shalat tidak saja harus mengerti thaharah melainkan juga harus mengetahui dan terampil melaksanakannya sehingga thaharahnya itu   sendiri terhitung sah menurut ajaran ibadah syar’iah.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari Thaharah?
2.      Apa saja alat yang digunakan dalam Thaharah?
3.      Apa saja macam-macam daripada thaharah?
4.      Apa pengertian dari hadats dan najis?
1.3  Tujuan
Æ  Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam
Æ  Menambah wawasan penulis dan pembacanya mengenai thaharah
Æ  Untuk memahami cara-cara bersuci yang dikehendaki oleh syari’at islam dan mempraktekkannya dalam menjalani ibadah sehari-hari.
1.4  Metode Penyusunan
Kami menggunakan metode kepustakaan yaitu dengan cara mengumpulkan buku – buku yang direkomendasikan serta mengkaji dan mencuplik makalah yang telah kami kaji.








BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Thaharah
Thaharah menurut bahasa ialah an-nadzhaafah yang artinya bersih atau suci. Sedangkan menurut istilah banyak sekali Fuqaha mendefinisikannya, diantaranya ialah Setiap perbuatan yang dapat membolehkan untuk melakukan shalat seperti wudhu, mandi besar, dan tayamum. Dalam hukum islam bersuci dan segala seluk beluknya adalah termasuk bagian ilmu dan amalan yang penting, karena diantara syarat-syarat ibadah yang telah ditetapkan bahwa seseorang yang akan mengerjakan ibadah wajib bersuci dari hadats dan suci pula badan, pakaian dan tempatnya dari najis. Sehingga sholat tidak sah dikerjakan kecuali dengan bersuci terlebih dahulu.
Thaharah menurut pengertian etimologis adalah suci dan bersih, seperti kalimat “Thahhartu al-tsauba”, maksudnya “aku mencuci baju itu sampai bersih dan suci”. Menurut pengertian syara’, thaharah adalah mensucikan diri dari hadats atau najis seperti mandi, berwudhu’, tayamum dan sebagainya. Masih dalam pengertian bersuci, kegiatan yang serupa dengan ketentuan di atas, seperti mandi atau mencuci dengan berulang kali, memperbaharui wudhu dan tayamum, mandi yang disunnahkan dan yang semakna dengan itu meskipun tidak bermaksud menghilangkan hadats atau najis.
Dalam pandangan Islam, masalah bersuci dan segala yang berkaitan dengannya merupakan kegiatan yang sangat penting, karena diantara syarat syahnya shalat ditetapkan agar orang yang mengerjakannya suci dari hadats, suci badan, pakaian dan tempatnya dari najis. Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”. (Q.S. al-Baqarah, 2 : 222).
Para ulama sepakat bahwa bercuci tidak sah kecuali dengan air. Diriwayatkan dari ibnu abi laila dan al-‘asim tentang bolehnya bersuci dengan menggunakan cairan yang lain.
Imam Malik Bin Annas, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad Bin Hambal : Najis tidak dapat dihilangkan kecuali dengan air. Imam Abu Hanifah : najis dapat dihilangkan dengan segala cairan yang suci[1].

2.2  Alat untuk berthaharah
1.       Air
             Air yang dapat digunakan untuk bersuci adalah air yang suci dan mensucikan. Air yang suci dan mensucikan ini  di antaranya adalah  air hujan, air laut,air sumur,air danau dll.
tapi, sebagian ulama ahli fiqih ada yang melarang berwudlu dengan air laut. Ada juga sekelompok ahli fiqih yang membolehkannya ketika dalam keadaan darurat saja. Sementara itu,  ada ahli fiqih lain yang membolehkan bertayamum walaupun ada air laut untuk berwudlu.
2.      Tanah
            Para ulam ahli fiqih sepakat  bahwa tanah yang suci bisa digunakan untuk berthaharah. Bersuci dengan tanah ini disebut dengan istilah tayamum.
para imam madzhab sepakat bahwa tayamum adalah dengan tanah yang suci (ash-sha’id), ketika tidak ada air atau ada air, tetapi takut menggunakannya. Namun, mereka berbeda pendapat tentang hakikat ash-sha’id. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Bin Hambal : Ash-sha’id adalah at-turab (tanah).oleh karena itu, tidak boleh bertayamum kecuali dengan tanah yang suci atau dengan pasir berdebu. Imam Abu Hanifah dan Imam Malik Bin Annas: ash-sha’id adalah al-ardh (tanah). Oleh karena itu, boleh bertayamum dengan tanah dan segala macam bagiannya, walaupun dengan batu yang tidak bertanah dan pasir yang tidak berdebu
Imam Malik Bin Annas menambahkan : boleh bertayamum dengan apa saja yang berkaitan dengan bumi, seperti tumbuh-tumbuhan[2].
2.3 Pembagian Thaharah
Thaharah terbagi dua:
1.      Thaharah Lahiriyyah disebut juga suci dari najis, mencakup kebersihan tubuh, pakaian, tempat shalat dan segala yang najis.
2.      Thaharah Hukmiyyah disebut juga suci dari hadats, meliputi wudhu’, mandi dan tayammum.

A.    Wudhu
Secara bahasa wudhu artinya husn atau indah. Wudhu adalah salah satu cara bersuci yang dilakukan oleh seorang muslim berdasarkan perintah Allah dalam Al-Qur’an. Firman Allah s.w.t dalam surat Al-Maidah ayat 6 :

 يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ.

Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit [403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (WC) atau menyentuh perempuan [404] ,lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur (QS. Al- Maidah : 6)
[403] maksudnya: sakit yang tidak boleh kena air.
[404] artinya: menyentuh. Menurut jumhur ialah: menyentuh sedang sebagian mufassirin ialah: menyetubuhi.
a)      Syarat-syarat Wudhu’
1.      Islam.
2.      Mumayyiz, karena wudhu itu ibarat yang wajib berniat sedang orang yang tidak beragama Islam dan orang yang belum mumaiyiz tidak diberi hak untuk berniat.
3.      Tidak berhadats besar.
4.      Dengan air yang suci mensucikan.
5.      Tidak ada yang menghalangi sampainya air ke kulit; seperti getah dan sebagainya yang melekat di atas kulit anggota wudhu.
b)     Fardhu (Rukun) Wudhu’
1.      Niat
2.      Membasuh muka
3.      Membasuh kedua tangan sampai siku
4.      Mengusap (menyapu) kepala
5.      Membasuh kedua kaki sampai mata kaki
6.      Tertib

c)      Sunnah Wudhu’
1.      Membaca Basmalah pada permulaan wudhu’
Tiga imam madzhab : membaca basmalah ketika berwudhu adalah sunnah, bukan wajib. Imam Ahmad bin Hambal dalam riwayat yang paling shohih : membaca basmallah ketika berwudhu adalah wajib.  Dawud berpendapat : wudhu tanpa membaca basmalah  tidak sempurna, baik meninggalkannya karena lupa maupun sengaja. Ishak bin Rahawaih berpendapat:  jika berwudhu tanpa membaca basmalah karena lupa maka wudhunya sah, tetapi jika sengaja maka wudhunya tidak sah[3].
2.      Membasuh 2 telapak tangan sampai kepada kedua pergelangan tangan 3x
Para ulama sepakat bahwa  membasuh kedua telapak tangan sebelum berwudhu adalah sunnah, bukan wajib. Imam Ahmad bin Hambal : Hal itu adalah wajib jika berwudhu sesudah bangun tidur malam, bukan tidur siang. Sebagian dari kelompok  azh-zhariyyah mengatakan : Hal itu wajib secara mutlak, bukan karena najis, tetapi semata-mata sebagai ibadah[4].
3.      Berkumur-kumur
Imam Malik bin Annas dan Imam Syafi’i: Berkumur dan menghirup air kedalam hidung adalah sunnah di dalam wudhu dan mandi. Imam Ahmad bin Hambal : Hal itu adalah wajib[5].
4.      Menghirup air kedalam hidung
5.      Menyela-nyela jari baik tangan maupun kaki
6.      Mengusap bagian luar dan dalam telinga
Imam abu Hanifah, Imam Malik bin Annas, dan Imam Ahmad bin Hambal: Kedua telinga termasuk bagian kepala. Oleh karena itu, disunnahkan mengusap keduanya ketika mengusap kepala. Selain itu, mereka berpendapat bahwa sunnah mengusapnya sekali saja. Imam Syafi’i: Menyapu kedua daun telinga adalah sunnah. Disunnahkannya mengusap telinga tiga kali. Mengusapnya dengan air yang baru, yaitu sesudah mengusap kepala, bukan air sisa mengusap kepala[6].
7.      Mendahulukan anggota kanan daripada kiri
8.      Mengulangi basuhan sebanyak 3x
9.      Menggosok-gosok anggota wudhu agar lebih bersih
10.  Melebihkan sedikit batas bagian yang diwajibkan dibasuh
11.  Menggunakan air secukupnya
12.  Mengakhiri wudhu dengan membaca do’a
13.  Melaksanakan shalat sunnah selesai wudhu.
d)     Yang Membatalkan Wudhu
1.      Keluarnya sesuatu dari 2 lubang ( qubul dan dubur )
2.      Hilang akal/ kesadaran ( pingsan, gila, mabuk, dll)
3.      Tidur
4.      Menyentuh Kemaluan
5.      Bersentuhan kulit laki-laki dewasa dengan wanita dewasa yang disertai dengan syahwat.
B.     Mandi
Yang dimaksud dengan mandi disini adalah mengalirkan air keseluruh badan dengan niat. Firman Allah s.w.t :
 وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
Artinya:”....Apabila kamu junub hendaklah bersuci” (Al-Maidah :6)
Mandi dibedakan menjadi dua:
1)      Mandi Wajib
A)    Sebab-sebab mandi wajib :
1.      Keluar mani
Imam Syafi’i: Keluar mani mewajibkan mandi, meskipun tidak disertai rasa nikmat. Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas berpendapat, Jika keluarnya tidak disertai rasa nikmat maka tidak wajib mandi. Seseorang telah selesai mandi wajib, lalu keluar mani, menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambali, jika keluarnya mani sesudah kencing maka tidak wajib mandi. Namun jika keluarnya sebelum kencing maka wajib mandi. Menurut Imam Syafi’i: Wajib mandi secara mutlak dan Menurut Imam Malik bin Hambal: Tidak wajib mandi sama sekali. Apabila keluarnya mani dengan terpancar ataupun tidak, menurut Imam Syafi’i: Wajib mandi. Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Annas, dan Imam Ahmad bin Hambal: Jika keluarnya tidak memancar, tidak wajib mandi[7].
2.      Hubungan badan(bersetubuh), meskipun tidak keluar mani
Empat imam madzhab sepakat bahwa apabila seorang laki-laki telah bersetubuh dengan seorang perempuan dan bertemu kedua kelaminnya, meskipun tidak keluar mani, mereka wajib mandi. Dawud berpendapat, “Mandi tidak wajib, kecuali keluar mani. “ Demikian juga pendapat sekelompok sahabat Nabi SAW.
Imam Syafi’i, Imam Anas bin Malik dan Imam Ahmad bin Hambali berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara kelamin manusia dan kelamin binatang. Imam Abu Hanifah: Tidak wajib mandi karena menyetubuhi binatang kecuali keluar mani[8].
3.      Berhenti dari haidh dan nifas
Menurut Ijma: Apabila perempuan haid dalam keadaan junub, lalu bersuci, cukup baginya mandi sekali untuk haid dan janabahnya. Diriwayatkan dari kelompok Azh- Zhahiriyyah: Perempuan itu wajib mandi dua kali[9].
4.      Masuk Islam
Orang kafir masuk islam, menurut Imam Malik bin Anas dan Imam Ahmad bin Hambal: Ia wajib mandi sesudah masuk Islam. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i: Disunnahkan mandi[10].
5.      Meninggal
2)      Mandi Sunnah
A)    Sebab-sebab mandi sunnah:
1.      Hari Jum’at dan hari raya
2.      Usai memandikan mayat
3.      Memulai ihram untuk haji dan umrah
4.      Shalat Istisqa (Sholat mohon hujan)
5.      Shalat Gerhana Bulan
6.      Shalat Gerhana Matahari
7.      Bagi  orang kafir ketika masuk islam
8.      Bagi orang gila setelah sembuh
9.      Bagi orang pingsan setelah sadar
10.  Masuk Mekkah
11.  Wuquf (berhenti di Arafah)
12.  Mandi untuk masuk Madinah Al Munawwarah, dll.

a)      Fardhu (Rukun) Mandi
1.      Niat.
Orang yang junub hendaklah berniat (menyengaja) menghilangkan hadats junubnya, perempuan yang baru selesai haid hendaklah berniat menghilangkan hadats kotorannya dan seterusnya.
2.      Menyampaikan/ mengalirkan air keseluruh tubuh.
b)     Sunat-Sunat Mandi
1.      Membaca Basmalah pada permulaan mandi
2.      Berwudhu sebelum mandi
3.      Menggosok-gosok seluruh badan dengan tangan
Menggosok badan dengan tangan ketika mandi wajib adalah sunnah, bukan wajib, kecuali menurut Imam Malik bin Annas.
4.      Mendahulukan yang kanan dari yang kiri
5.      Berturut-turut (Tertib)
c)      Larangan bagi yang junub
1)      Shalat dan thawaf di sekitar ka’bah
2)      Memegang dan membawa mushaf Al-Qur’an
      Empat Imam Madzhab: orang junub dilarang menyentuh dan membawa  mushaf(Al- Qur’an).
3)      Membaca Al- Qur’an
      Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal: orang junub dilarang membaca Al-Qur’an sedikit ataupun banyak. Imam Abu Hanifah: Boleh, jika membacanya sebagian saja. Imam Malik bin Annas: boleh membaca satu atau dua ayat[11].
4)      Duduk dan berhenti di mesjis
C.    Tayammum
Tayamum yaitu menyapukan tanah  kemuka dan kedua tangan sampai siku dengan beberapa syarat. Tayamum adalah pengganti wudhu atau mandi, sebagai rukhsoh(keringanan)untuk orang yang tidak dapat memakai air karena beberapa halangan (udzur):
1.      Uzur karena sakit, kalau ia memakai air bertambah sakitnya atau lambat sembuhnya, menurut keterangan dokter atau dukun yang telah berpengalaman tentang penyakit serupa itu.
Barang siapa merasa khawatir akan mati jika menggunakan air, ia boleh bertayamum. Di dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Akan tetapi, jika ia takut bertambah parah sakitnya, bertambah lama sembuhnya, atau takut menimbulkan sakit baru, tetapi tidak khwatir mati, maka menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad Bin  Hambal, ia boleh bertayamum tanpa harus mengulangi shalatnya setelah hilang kekhawatirannya.
Atha' dan al-Hasan berpendapat: Orang sakit tidak boleh bertayamum sama sekali. Orang sakit tidak boleh bertayamum kecuali ketika tidak ada air.
2.      Karena dalam perjalanan
3.      Karena tidak ada air
Para Imam madzhab mereka berbeda pendapat tentang seseorang yang tidak dalam perjalanan kesulitan memperoleh air. Sementara itu, ia khawatir waktu shalat akan habis jika mengambil air yang letaknya jauh. Jika mengambilnya, diperkirakan matahari segera terbit. Dalam hal ini, Imam Syafi’i berpendapat: Hendaknya ia bertayamum, kemudian shalat. Setelah mendapatkan air, ia harus mengulang shalatnya. Menurut Imam Malik bin Annas, hendaknya ia bertayamum dan shalat tanpa harus mengulangi shalatnya jika memperoleh air. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, hendaknya ia menunda shalatnya hingga memperoleh air, lalu mengerjakan shalat yang di tinggalkannya[12].   

1)      Syarat Tayamum
1.      Sudah masuk waktu  sembahyang, tayamum disyariatkan untuk orang yang terpaksa,sebelum masuk waktu ia belum terpaksa, sebab sembahyang belum wajib atasnya ketika itu.
Menurut pendapat Imam Malik bin Annas, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal: Tidak boleh bertayamum sebelum masuk waktu sholat. Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkannya.
2.      Susah diusahakan mencari air tetapi tidak dapat.waktu sudah masuk.
3.      Dengan tanah suci dan berdebu.
Imam Syafi’i  dan Imam Ahmad bin Hambal: Ash-Sha’id adalah At-Thurab (tanah). Oleh karena itu, tidak boleh bertayamum kecuali dengan tanah yang suci atau dengan pasir berdebu.Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Annas: Ash-Sha’id adalah al-ardh (tanah). Oleh karena itu, boleh bertayamum dengan tanah dan segala macam bagiannya, walaupun dengan batu yang tidak bertanah dan pasir yang tidak berdebu. Imam Malik bin Annas menambahkan: Boleh bertayamum dengan apa saja yang berkaitan dengan bumi, seperti tumbuh-tumbuhan[13].
4.      Menghilangkan najis.

2)      Fardu (Rukun) Tayamum
1.      Niat. Hendaklah seseorang yang melakukan tayamum berniat karena hendak mengerjakan sembahyang dan sebagainya.bukan semata-mata hanya untuk menghilangkan hadast saja, karena sifat tayamum tidak hanya menghilangkan  hadast, hanya dibolehkan untuk melakukan sembahyang karena darurat. Keterangan bahwa niat tayamum, wajib hukumnya ialah hadist yang mewajibkan niat wudhu yang lalu.
2.      Menyapu muka dengan tanah
3.      Menyapu kedua tangan sampai siku dengan tanah.
Empat imam mazhab berbeda pendapat tentang kadar yang memadai dalam mengusap anggota tayamum. Imam Abu Hanifah dalam riwayat yang masyhur berpendapat: Dua tepukan; satu untuk wajah dan satu lagi untuk kedua tangan dan siku. Adapun, pendapat paling sahih dalam mazhab Syafi’i adalah seperti pendapat Hanafi. Namun, Syaikh Abu Hamid Al- Asfarayini berpendapat, “ Hal itu telah ditetapkan dalam qaul qadim dan qaul jadid Syafi’i. Oleh karena itu, mengusap wajah dan kedua tangan sampai siku adalah dengan dua kali tepukan atau beberapa kali tepukan.”
Imam Malik bin Annas dalam riwayatnya paling masyhur dan Imam Ahmad bin Hambal berpendapat: Cukup sekali tepukan untuk mengusap muka dan dua telapak tangan, yaitu bagian dalam jari-jarinya untuk wajah dan bagian dalam telapak tangan untuk mengusap kedua tangan[14].
4.      Menertibkan rukun-rukun artinya mendahulukan muka dari pada tangan. Alasan sebagaimana keterangan menertibkan rukun wudhu yang telah lalu. Sebagian ulama ada yang berpendapat tidak wajib menertibkan tayamum.
3)      Sunnat Tayamum
1.      Membaca bismillah. Dalil hadist sunnat wudhu, karena tayamum ganti wudhu.”
2.      Menghembus tanah dari dua tapak tangan, agar supaya tanah yang diatas tangan itu menjadi tipis.
3.      Membaca dua kalimat syahadat sesudah selasai tayamum sebagaimana sesudah selaesai wudhu.
4)      Hal-hal yang Membatalkan Tayamum.
1.      Tiap-tiap hal yang membtalkan wudhu membtalkan tayamum
2.      Ada iar, dengan adanya air sebelum sembahyang batallah tayamum bagi orang yang tayamum karena ketiadaan air.

2.4   Macam-macam Hadats dan Najis
A.    Macam-macam Hadats
a)      Hadats Besar
Hadats besar adalah peristiwa atau keadaan yang mewajibkan seseorang untuk mandi janabat, seperti keluar mani, bersenggama, haidh dan nifas. Adapun tata cara mandi janabat adalah sebagai berikut:
1.      Mencuci kedua tangan dengan air
2.      Membasuh qubul (kelamin) dan dubur
3.      Berwudhu’ sebagaimana wudhu’a shalat, namun hanya sampai kepala
4.      Mengusap kepala dan menyela-nyela rambut hingga ke pangkalnya dengan air secara merata
5.      Menyiram kepala dan seluruh anggota tubuh dengan air sebanyak tiga kali kemudian yang terakhir mencuci kaki.

b)     Hadats Kecil
Hadats Kecil adalah peristiwa atau keadaan yang menyebabkan seseorang harus berwudhu ketika ia hendak mengerjakan shalat.

B.     Macam-macam Najis
a)      Najis Mukhaffafah (Najis Ringan)
Yang termasuk najis ringan ini adalah air seni atau air kencing bayi laki-laki yang hanya diberi minum asi (air susu ibu) tanpa makanan lain dan belum berumur 2 tahun.
Untuk mensucikan najis mukhafafah ini yaitu dengan memercikkan air bersih pada bagian yang kena najis.

b)      Najis Mutawassithah (Najis Biasa/Sedang)
Segala sesuatu yang keluar dari kubul dan dubur manusia dan binatang/hewan adalah najis biasa dengan tingkatan sedang. Air kencing, kotoran buang air besar, termasuk bangkai (kecuali ikan dan belalang), air susu hewan yang diharamkan untuk memakan dagingnya, khamar, dan lain sebagainya.
Najis mutawassithah terbagi atas 2 bagian, yakni :
1)      Najis ‘Ainiyyah : Jelas terlihat rupa, rasa atau tercium baunya.
2)      Najis Hukmiyyah : Tidak tampat (bekas kencing & miras).
Untuk membuat suci najis mutawasithah ‘ainiyah caranya dengan dibasuh 1 s/d 3 dengan air bersih hingga hilang benar najisnya. Sedangkan untuk najis hukmiyah dapat kembali suci dan hilang najisnya dengan jalan dialirkan air di tempat yang kena najis.
c)      Najis Mughallazhah (Najis Berat)
Najis mugholazah contohnya seperti air liur anjing, air iler babi dan sebangsanya. Najis ini sangat tinggi tingkatannya sehingga untuk membersihkan najis tersebut sampai suci harus dicuci dengan air bersih 7 kali di mana 1 kali diantaranya menggunakan air dicampur tanah.
·         Tambahan :
Najis Ma’fu adalah najis yang tidak wajib dibersihkan/disucikan karena sulit dibedakan mana yang kena najis dan yang tidak kena najis. Contoh dari najis mafu yaitu seperti sedikit percikan darah atau nanah, kena debu, kena air kotor yang tidak disengaja dan sulit dihindari. Jika ada makanan kemasukan bangkai binatang sebaiknya jangan dimakan kecuali makanan kering karena cukup dibuang bagian yang kena bangkai saja.
“Sesungguhnya Allah Maha Indah mencintai keindahan, Allah Maha Baik menyukai kebaikan, Allah Maha Bersih mencintai kebersihan. Karena itu bersihkanlah teras rumah kalian dan janganlah kalian seperti orang-orang Yahudi” (HR.Tirmizi). Semoga kita bisa menjaga tubuh dan pakaian kita dari najis sebelum kita melakukan ibadah pada Allah SWT.






























BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Thaharah secara bahasa adalah bersih (nadlafah), suci (nazahah), terbebas (khulus) dari kotoran (danas). Menurut istilah ahli fiqh, thaharah adalah `, thaharah berarti mensucikan diri, pakaian dan tempat dari hadats dan najis, khususnya pada saat kita hendak shalat. Hukum thaharah adalah wajib.
Thaharah wajib hukumnya berdasarkan firman Allah dan hadits Nabi. Diantaranya Q.S. 2, Al-Baqarah : 222,  Al-ma’idah : 6,  Al-Muddatstsir : 4, dan beberapa dari hadits Nabi.
Najis ada dua macam najis dengan kaitannya dengan cara membersihkannya, yaitu  Najis Mukhafaffah, Najis Mughallazah, dan Najis Mutawassitah.
Wudhu menjadi sah, jika dilakukan dengan memenuhi rukun-rukunnya wudhu, yaitu  niat, membasuh muka, membasuh tangan sampai dengan kedua sikut, mengusap kepala, membasuh kaki sampai dengan mata kaki, tertib maksudnya adalah melaksanakannya, baik membasuh maupun mengusap anggota. Setiap mandi wajib maupun sunnah akan menjadi sah apabila dipenuhi rukun-rukunnya. Rukun-rukun mandi tersebut adalah : Niat, Membasuh seluruh anggota badan.

3.2  Saran
Dari beberapa penjelasan diatas ada saran yang ingin kami sampaikan, sebagai generasi islam yang turut menyumbang dalam pembangunan bangsa, sebaiknya kita memperhatikan dengan seksama masalah thaharah, karena karena itu kita dituntut untuk memahaminya agar praktik ibadah kita benar menurut ajaran syar’i.









Daftar Pustaka

Fatah, Abdul Idris. 1990. ” Fiqh Islam Lengkap “. Rineka Cipta, Jakarta.
Sulaiman Rasjid, H. 1994.” Fiqih Islam’. Sinar Baru Algensindo.
Moh. Rifa’i, Drs.1976. ” Risalah Tuntunan Shalat Lengkap “. C.V. Toha Putra Semarang
http://4moslem.wordpress.com/2008/11/04/thaharah-dari-hadats-dan-najis/
http://anakciremai.blogspot.com/2008/05/fiqih-tentang-thaharah-bersuci_09.html
www.geocities.com
Ibnu Abdurrahman ad-Dimasyqi, Muhammad, 2010. Fiqh Empat Madzhab. Hasyimi: Bandung.
Pulungan, Khusnul Khair, 2010. Fiqih Ibadah Online. Abu Syahbina: Bandung











[1] Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab, Hasyimi Bandung, 2010, Hlm.13
[2] Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab, Hasyimi Bandung, 2010, Hlm.32
[3] Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab, Hasyimi Bandung, 2010, Hlm.27
[4] Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab, Hasyimi Bandung, 2010, Hlm.27
[5] Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab, Hasyimi Bandung, 2010, Hlm.28
[6] Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab, Hasyimi Bandung, 2010, Hlm.28
[7] Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab, Hasyimi Bandung, 2010, Hlm.30
[8] Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab, Hasyimi Bandung, 2010, Hlm.30
[9] Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab, Hasyimi Bandung, 2010, Hlm.31
[10] Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab, Hasyimi Bandung, 2010, Hlm.31
[11] Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab, Hasyimi Bandung, 2010, Hlm.31
[12] Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab, Hasyimi Bandung, 2010, Hlm.34
[13] Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab, Hasyimi Bandung, 2010, Hlm.32
[14] Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab, Hasyimi Bandung, 2010, Hlm.36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar